Tan Hong Boen dari Tegal, Penulis Pertama Riwayat Hidup Bung Karno

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 5 Juni 2019 | 12:00 WIB
(Di Bawah Bendera Revolusi, 1964)

Im Yang Tjoe—atau kerap juga ditulis Im Jang Tju—adalah gambaran sosok penulis misterius yang nyaris pupus dari ingatan sejarah manusia Indonesia.

Baca juga:  

Jalan Braga di Kota Bandung sekitar 1930-an. Tampaknya Tan Hong Boen berbincang bersama Bung Karno di Bandung. Boen pernah menjadi Pemimpin Redaksi (Tropenmuseum)
 
Myra menulis artikel “Tan Hong Boen, man of many faces” untuk majalah Asian Culture yang terbit di Singapura pada 1993. Myra mengungkapkan bahwa Im Yang Tjoe adalah salah satu dari sekian nama pena milik seorang penulis asal Slawi, Kabupaten Tegal, yang bernama Tan Hong Boen. Dia merupakan anak dari keluarga Tan Boeng Keng di Slawi. Lahir pada Senin, 27 Februari 1905 dan wafat dalam usia 78 tahun pada Kamis, 15 September 1983.

Selain nama Im Yang Tjoe, ada sederet nama pedengan lain milik Tan Hong Boen. Bahkan, Boen pernah memakai nama genit Madame d'Eden Lovely.

Kantor Pos dan Telegraf di Tegal, sekitar 1926. Tan Hong Boen, penulis dan jurnalis kelahiran Slawi, Kabupaten Tegal, pada 1905. Ayahnya bernama Tan Boeng Keng. (Delft University of Technology/colonialarchitecture.eu)
 
Kematangannya sebagai jurnalis dan editor mungkin bermula di Semarang pada 1929, tatkala Boen mendirikan majalah sastra Boelan Poernama yang terbit setiap hari ke-15 dalam kalender Cina. Di Bandung sekitar 1930-32, Boen menjadi Pemimpin Redaksi Soemanget. Dia juga pernah menjabat sebagai pimpinan Biographical Publishing Centre di Solo, yang menerbitkan salah satu bukunya berjudul Orang Tionghoa Jang Terkemoeka di Java pada 1935.
 
Selama menjadi jurnalis surat kabar Soemanget, tampaknya Boen bertemu dengan Soekarno di Bandung. Barangkali pertemuan dan wawancara itu terjadi selepas Bung Karno menjalani hukumannya di penjara Sukamiskin, sekitar 1932 atau 1933.
 
Im Yang Tjoe adalah salah satu dari sekian nama pena milik seorang penulis asal Slawi, Kabupaten Tegal, yang bernama Tan Hong Boen.

Dalam Soekarno Sebagi Manoesia, Boen mengungkapkan sosok Soekarno sebagai manusia biasa. Ketika menulis pun Boen tidak pernah membayangkan Soekarno kelak menjadi presiden pertama Republik ini. Dalam wawancaranya dengan Boen, Soekarno mengakui bahwa ketika kecil dia merupakan sosok yang bebal dan murid yang bodoh karena tidak pernah menghafalkan pelajaran dengan baik. Namun, Soekarno juga menyatakan kepada Boen perihal kearifan terhadap sesama ciptaan Tuhan. Soekarno tidak pernah membinasakan nyamuk, demikian penuturan Boen, karena makhluk itu memang telah diciptakan untuk menghisap darah manusia.

Untuk pertama kalinya, rekaman perjalanan asmara orang tua Soekarno yang bersemi di Bali dikisahkan dalam buku biografinya. Untuk pertama kalinya pula, Soekarno mengungkapkan perbedaan pendapatnya dengan Tjokroaminoto, mertuanya sendiri. Dan, perbedaan pendapat dengan Tjokroaminoto itulah yang memicu perceriannya dengan Siti Oetari. Kisah Soekarno dalam biografi pertamanya ini berakhir dengan adegan sambutan warga Bandung ketika Soekarno bebas dari penjara Sukamiskin—simbol pembebasan menuju kemerdekaan.

 

Selembar foto yang diberikan Presiden Sukarno kepada Mieczyslaw Glanc. (Foto Studio N.V. Wirontono, Kaliasin 94 - Tilp. S. 2906, Surabaja, Indonesia)

 

Dalam wawancaranya dengan Boen, Soekarno mengakui bahwa ketika kecil dia merupakan sosok yang bebal dan murid yang bodoh karena tidak pernah menghafalkan pelajaran dengan baik.

“Ini efek dari perdebatan ideologis sebenarnya,” kata Agni Malagina, ahli sinologi dari Fakultas ilmu Budaya di Universitas Indonesia. Semenjak 1901 hingga 1940-an, banyak perdebatan dalam surat-surat kabar Melayu-Tionghoa, sementara pemerintah Hindia Belanda sangat keras terhadap penerbitan pers. Tak segan mereka memberedel media atau memenjarakan para jurnalis. “Opini-opini penulis itu banyak yang muatannya kritik,” ungkapnya. “Yang dikritik macam-macam, terutama kebijakan kolonial.”  Selain krtik terhadap pemerintah kolonial, orang-orang Tionghoa juga melakukan kritik terhadap dirinya sendiri seperti soal budaya dan sikap, demikian hematnya. Mereka saling berperang ide, berperang pendapat, dan berperang ideologi. Sebelum muncul polemik kebudayaan sastrawan Pujangga Baru, menurut Agni, orang-orang Tionghoa telah lebih dahulu memulai polemik kebudayaan. “Zaman itu kritik-kritik itu kenceng banget dan balas-membalas.”

Jika orang kerap memperbincangkan tentang nama Cindy Adams, tidak demikian dengan nama Tan Hong Boen. Sampai hari ini pun nama lelaki itu terus tergerus, sehingga hanya sekelonet orang yang mengenal sosok sejatinya.

Bagaimana sosok Soekarno dimata Tan Hong Boen? Boen sengaja menyisipkan sebuah perumpamaan tentang sosok Soekarno yang kelak bertubi-tubi ditempa rintangan dalam perjuangannya, "Tjoema batoe koemala sadja jang digosok bisa gilang goemilang."

Baca juga: Adakah Hubungan Antara Salatiga, Arthur Rimbaud, dan Soekarno?