Im Yang Tjoe—atau kerap juga ditulis Im Jang Tju—adalah gambaran sosok penulis misterius yang nyaris pupus dari ingatan sejarah manusia Indonesia.
Dalam wawancaranya dengan Boen, Soekarno mengakui bahwa ketika kecil dia merupakan sosok yang bebal dan murid yang bodoh karena tidak pernah menghafalkan pelajaran dengan baik.
“Ini efek dari perdebatan ideologis sebenarnya,” kata Agni Malagina, ahli sinologi dari Fakultas ilmu Budaya di Universitas Indonesia. Semenjak 1901 hingga 1940-an, banyak perdebatan dalam surat-surat kabar Melayu-Tionghoa, sementara pemerintah Hindia Belanda sangat keras terhadap penerbitan pers. Tak segan mereka memberedel media atau memenjarakan para jurnalis. “Opini-opini penulis itu banyak yang muatannya kritik,” ungkapnya. “Yang dikritik macam-macam, terutama kebijakan kolonial.” Selain krtik terhadap pemerintah kolonial, orang-orang Tionghoa juga melakukan kritik terhadap dirinya sendiri seperti soal budaya dan sikap, demikian hematnya. Mereka saling berperang ide, berperang pendapat, dan berperang ideologi. Sebelum muncul polemik kebudayaan sastrawan Pujangga Baru, menurut Agni, orang-orang Tionghoa telah lebih dahulu memulai polemik kebudayaan. “Zaman itu kritik-kritik itu kenceng banget dan balas-membalas.”
Jika orang kerap memperbincangkan tentang nama Cindy Adams, tidak demikian dengan nama Tan Hong Boen. Sampai hari ini pun nama lelaki itu terus tergerus, sehingga hanya sekelonet orang yang mengenal sosok sejatinya.
Bagaimana sosok Soekarno dimata Tan Hong Boen? Boen sengaja menyisipkan sebuah perumpamaan tentang sosok Soekarno yang kelak bertubi-tubi ditempa rintangan dalam perjuangannya, "Tjoema batoe koemala sadja jang digosok bisa gilang goemilang."
Baca juga: Adakah Hubungan Antara Salatiga, Arthur Rimbaud, dan Soekarno?