Kisah Sederhana Manusia Tertua Indonesia yang Pernah Temani Soekarno Ritual di Lereng Gunung Kelud

By , Jumat, 24 Mei 2019 | 16:35 WIB
Jasad Mbah Arjo Suwito diberangkatkan dari rumah duka di Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Rabu (22/5/2019). (Tribunjatim| Surya)

Pernah Temukan Candi di Gunung Kelud, Mbah Arjo Suwito Manusia Tertua di Indonesia Meninggal di Usia 193 Tahun dan Tinggalkan Sebuah Wasiat (SURYA/IMAM TAUFIQ)

"Sejak saya tinggal di sini (1990-an), ya ini rumah saya. Ini saya tempati dengan anak perempuan saya," tutur Mbah Arjo. Saat itu ia bicaranya masih lancar, namun mengaku sudah setahun kesulitan jalan.

Sejak tak bisa jalan itu, ia tak bisa beraktivitas apapun. Meski hidup di tengah hutan, ia mengaku tak kesulitan air bersih atau kebutuhan makan lainnya. Di dekat tempat tinggalnya, ada sungai dengan air yang cukup jernih.

Untuk makanan, ia mengandalkan sayur yang ditanam sendiri, seperti daun singkong, dan bayam. Untuk beras, ia mengaku mendapat jatah beras raskin dari pemerintah. "Kalau nggak dapat jatah beras, ya saya sudah biasa cukup minum air putih saja," paparnya. Ditanya usianya berapa?

Mbah Arjo mengaku sudah 200 tahun. Soal tahun kelahirannya, ia mengaku lupa dan hanya ingat harinya, yaitu Selasa Kliwon (pada Subuh). Ia kelahiran Desa Gadungan yang berjarak sekitar 8 kilometer dari tempatnya sekarang ini.

Baca Juga: Merasa Waktu Berjalan Cepat? Lakukan Cara Ini untuk Membuatnya Lebih Lambat

"Kalau dikait-kaitkan dengan peristiwa jaman dulu soal masa kecil saya, ya saya sudah lupa. Namun, ketika jaman penjajah Jepang, saya sudah beristri yang keenam kali. Sebab, kelima istri saya itu meninggal dunia, sehingga saya menikah lagi dan dapat istri orang Ponorogo, namanya Suminem. Ia meninggal dunia ketika Indonesia merdeka," paparnya.

Sebanyak enam kali menikah itu, ia mengaku dikaruniai 18 anak. Namun, 17 anaknya sudah meninggal dunia dan tinggal satu orang, yakni Ginem yang hidup bersamanya dan mengalami keterbelakangan mental

Widodo, Kades Gadungan, menuturkan sebelum tinggal di komplek Candi Wringi Branjang, mbah Arjo tinggal di desanya. Namun, sejak menemukan candi itu, ia memilih tinggal di situ dan mendirikan gubuk.

"Kalau data di kependudukan desa kami, mbah Arjo itu tercatat kelahiran Desa Gadungan pada 19 Januari 1825. Kalau data pendukungnya, ya nggak ada. Cuma, kakek saya mbah Mawiro Pradio yang kelahiran 1918 saja, memangil mbah Arjo itu kakek. Berarti bisa dibayangkan, kalau mbah Arjo sudah sangat tua. Mbah saya itu baru meninggal tahun 1990 lalu," ungkap Widodo yang usianya baru 48 ini.

Entah kelebihan apa yang dimiliki mbah Arjo, karena setelah menemukan candi itu dan tinggal di dekat candi itu, hampir selalu ada tamu yang datang di hari-hari tertentu. Lebih-lebih, setiap malam 1 Suro, menurut Widono, mbah Arjo selalu kebanjiran tamu.

Tak hanya dari Blitar, namun dari berbagai daerah, seperti Jogjakarta, Ponorogo, Pacitan, bahkan Jakarta. Mereka melakukan ritual melekan di gubuk mbah Arjo, "Biasanya para tamunya lapor ke desa, bahkan perangkat kami seringkali yang mengantar tamu-tamunya mbah Arjo. Kalau ada melekan 1 Suro, malah kami yang meminjami genset karena tempat tinggalnya belum terjangkau listrik," tuturnya.