Kisah Sederhana Manusia Tertua Indonesia yang Pernah Temani Soekarno Ritual di Lereng Gunung Kelud

By , Jumat, 24 Mei 2019 | 16:35 WIB
Jasad Mbah Arjo Suwito diberangkatkan dari rumah duka di Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Rabu (22/5/2019). (Tribunjatim| Surya)

Baca Juga: Mengenal Lebih Jauh Leonardo da Vinci, 500 Tahun Setelah Kematiannya

Bahkan, tamunya tak hanya kalangan orang biasa, tak sedikit para pengusaha dan para pejabat. Salah satunya tamu mbah Arjo adalah Heri Noegroho, Bupati Blitar dua periode 2005-2015. Meski tamunya banyak orang berduit, namun kehidupan mbah Arjo tetap sederhana.

Buktinya, ia tak mampu membeli beras sehingga sering tak makan. "Bahkan saya tahu sendiri, pernah diberi uang oleh seorang pejabat yang dibantunya. Namun mbah Arjo tak mau. Malah si pejabat itu diberi uang dollar, yang bentuknya masih baru dan asli. Oleh pejabat dollar itu diterimanya," tutur Widodo.

Heri Noegroho, mengaku mengenal mbah Arjo dengan bak dan ia kagum dengan kesederhanaan mbah Arjo. "Dulu (saat masih jadi bupati), saya memang sering ke sana dengan naik sepeda motor. Selain ada kepentingan tersendiri dengan mbah Arjo, juga sekalian ingin mengenalkan destinasi wisata, yakni candi penemuan mbah Arjo (Candi Wringin Branjang) itu," tuturnya, Minggu (14/1/2018).

Kalau soal usia mbah Arjo, Heri Noegroho mengaku tak tahu pasti, namun ia yakin mbah Arjo sudah berusia 100 tahun lebih. Dari sosok mbah Arjo, Heri mengaku banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik. Selain sederhana, ia bisa bertahan hidup di lereng pegunungan dengan makanan yang ada.

"Mungkin dengan kondisinya seperti itu, ia jadi awet hidup karena tak berpikiran macam-macam," ujarnya. Mbah Arjo mengaku telah mengalami Gunung Kelud meletus sebanyak enam kali. Namun ia lupa detail tahunnya. Ia hanya mengingat letusan yang paling dashyat tahun 1990.

Baca Juga: Bung Karno Wafat di Pangkuan Perempuan Ini. Yuk Kita Simak Kisahnya

Saat itu dirinya sudah tinggal di lereng gunung tersebut. Saat Gunung Kelud meletus, ia tak mau dievakuasi dan tetap tinggal di gubuknya itu bersama anaknya.

"Padahal saat itu ketebalan abunya di desa kami saja sampai 1 meter. Namun, ketika mbah Arjo mau dievakuasi, nggak mau. Malah bilang saya nggak usah dievakuasi karena saya sudah kenal semua dan teman saya di sini banyak. Padahal di gubuknya itu, ia hanya tinggal berdua dengan anaknya. Namun katanya temannya banyak," papar Widodo.

Baru saat terjadi letusan Genung Kelud tahun 2014 lalu, mbah Arjo dan anaknya, dievakuasi paksa meski sempat menolak. Warga khawatir mbah Arjo terkena imbas dari letusan karena jika meluap, kali lahar akan lewat di depan tempat tinggal mbah Arjo.

"Katanya, saya nggak usah dibawa pergi, wong di sini saya sudah ada yang memayungi. Tapi kami nggak tega. Ya saat itu kami ke balai desa," ungkapnya.

Menemani Bung Karno