Gunung Everest Penuh dan Sesak, Banyak Pendaki Meninggal Kelelahan

By Gita Laras Widyaningrum, Selasa, 28 Mei 2019 | 12:10 WIB
Kepadatan di Gunung Everest. (Project Possible)

Nationalgeographic.co.id – Anjali Kulkarni, pendaki asal India, berlatih selama enam tahun untuk mencapai puncak Gunung Everest yang tertinggi di dunia. Ia berhasil menggapai impiannya tersebut, tapi sayangnya tak selamat saat perjalanan turun ke lereng gunung.

Anak Anjali, Shantanu Kulkarni, mengatakan bahwa ibunya meninggal setelah terjebak ‘macet’ di gunung Everest yang dipenuhi turis.

“Dia harus menunggu sangat lama untuk sampai puncak dan turun kembali. Anjali tidak bisa bergerak dan akhirnya meninggal di atas sana,” papar Thupden Sherpa, yang menyelenggarakan tur ke gunung tersebut.

Baca Juga: Menghindari Kontak dengan Manusia, Cara Simpanse Afrika Bertahan Hidup

Dua pendaki lain, Kalpana Das (52) dan Nihal Bagwan (27), juga meninggal dunia minggu ini. Keshav Paudel, penyelenggara tur, mengatakan bahwa Bagwan “terjebak padatnya antrean di gunung lebih dari 12 jam dan kelelahan”.

Pada Sabtu lalu, pria berusia 44 tahun asal Inggris, Robin Haynes Fisher, meninggal sesaat setelah mencapai puncak. Menambah jumlah kematian di Gunung Everest menjadi sepuluh orang.

“Petugas kami berusaha menolongnya, tapi ia langsung meninggal,” ujar perusahaan tur Fisher.

Cuaca cerah selama beberapa hari telah menarik perhatian banyak pendaki yang berharap dapat mencapai puncak setinggi 8.848 tersebut.

Foto yang diunggah di Instagram oleh Nirmal Purja, salah satu pendaki, memperlihatkan antrean panjang di Gunung Everest. Menurutnya, ada sekitar 320 orang yang menunggu kesempatan untuk naik ke puncak.

‘Kemacetan’ di gunung ini menciptakan situasi berbahaya bagi para pendaki yang sudah kelelahan. Mereka juga membawa beban berat sambil melawan penyakit di ketinggian yang dapat menyebabkan pusing dan mual.

Gordon Janow, direktur program Alpine Ascents International yang telah mengatur pendakian di Everest selama 30 tahun mengatakan, kepadatan memang sering terjadi. Namun, setiap tahun kondisinya semakin memburuk.

“Ketika terjadi kemacetan, Anda mengubah kecepatan alami sehingga menghabiskan lebih banyak waktu di zona ketinggian. Ini memerlukan waktu yang lebih lama dibanding pendakian 10-15 tahun lalu,” paparnya.