Nationalgeographic.co.id - Everest adalah salah satu gunung yang bermasalah, terutama terkait dengan sampah manusia. Bukan hanya dipenuhi dengan sisa-sisa peralatan berkemah, botol bir, dan kaleng gas, tetapi juga kotoran manusia.
Sejak akhir 1990-an, Everest menjadi tujuan utama para pecinta petualangan. Data Taman Nasional Sagarmatha menunjukkan bahwa ada 150 ribu pengunjung yang ingin mendaki Everest setiap tahunnya.
Selama lebih dari tiga dekade, Alton Byers, ahli geologi pengunungan dari Institute for Arctic and Alpine Research, University of Colorado, telah mempelajari konservasi dan restorasi di barisan pegunungan Himalaya di wilayah Nepal. Ia mengatakan, ada dua jenis sampah di Everest.
Dua jenis sampah
Pertama, sampah berasal dari barang bawaan pendaki di sepanjang jalur hingga ke puncak gunung. Jenis sampah ini biasanya akan ditangani oleh Sagarmatha Pollution Control Committee (SPCC), organisasi nonprofit yang berusaha untuk menjaga wilayah tersebut tetap bersih.
Mereka telah memasang 70 tempat sampah di sepanjang jalur pendakian. Juga menyediakan pusat pengumpulan sampah yang lebih besar di pintu masuk desa dekat Everest.
Baca Juga : Jamur Asal Pakistan Ini Bisa Memakan Plastik, Solusi Mengatasi Sampah?
Sayangnya, upaya SPCC ini masih terbatas dan peraturan pembuangan sampah kadang tidak ditaati oleh para pendaki. Beberapa dari mereka bahkan meninggalkan sampahnya di atas sana.
Jenis sampah yang kedua, menurut Byers, berasal dari ratusan pondok penginapan di wilayah Khumbu. Pemilik pondok mengubur sampah-sampah mereka -- di antaranya berupa plastik, kaleng aluminium, botol wiski, kertas -- dalam sebuah lubang.
Ketika dibakar, sampah tersebut akan mengeluarkan racun ke udara. Dan apabila dibiarkan terkubur, itu akan menyalurkan bahan kimia beracun ke dalam air.
Byers mengatakan, pemilik pondok sepertinya tidak tertarik dengan daur ulang karena prosesnya membutuhkan biaya yang mahal. “Jika mengeluarkan uang, mereka pasti tidak akan melakukannya,” kata Byers.
Selain itu, masalah besar di Everest adalah kotoran manusia. Warga lokal dipekerjakan untuk membawa kotoran dari kamp ke lubang-lubang di pondok. Lalu menunggu tinja ini terbawa arus selama musim hujan.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR