Internet Sehat: Apakah Kita Sejahat Kelakuan Kita di Daring?

By Warsono, Jumat, 31 Mei 2019 | 12:43 WIB
Hand using smartphone with Social media concept. (CASEZY)

Social Media ()
 

IZINKAN SAYA MENJELASKAN. Kita semua pernah mendengar semboyan kesadaran berdiet. “Anda adalah apa yang Anda makan.” Namun dalam hal perilaku, variasi yang lebih tepat adalah “Anda adalah siapa yang Anda temui.” Bagaimana kita berpikir, mengalami, dan bertindak di dunia ini secara tajam dibentuk oleh siapa dan apa yang ada di sekitar kita setiap hari—keluarga, komunitas, institusi, keyakinan, dan panutan.

Sumber pengaruh ini mencari jalan, bahkan sampai  sistem neurobiologi kita. Otak dan tubuh secara terus-menerus mengalami perubahan halus sehingga cara pandang kita terhadap dunia dipengaruhi dan berkaitan dengan pola orang dan tempat yang paling terhubung dengan kita.

Proses ini memiliki akar evolusi yang dalam, dan menghasilkan apa yang kita sebut realitas bersama. Hubungan antara pikiran dan pengalaman memungkinkan kita berbagi ruang dan bekerja sama secara efektif, lebih dari sebagian besar makhluk lainnya. Sebagian dari hal inilah yang menyebabkan kita menjadi spesies yang berhasil.

Baca Juga: Kisah Friedrich Silaban, Anak Pendeta yang Rancang Masjid Istiqlal

Namun “siapa” dalam “siapa yang kita temui” di sistem ini telah berubah. Saat ini, siapa tersebut bisa mencakup teman sosial media yang lebih bersifat maya daripada nyata; lebih banyak informasi yang diserap via Twitter, Facebook, dan Instagram daripada pengalaman sosial fisik.

Kita hidup di masyarakat yang kompleks, yang dibentuk oleh proses politik dan ekonomi, yang pada gilirannya menghasilkan kesenjangan dan pemisahan besar. Pembagian ini menghasilkan berbagai macam prasangka dan titik buta yang memecah belah. Interaksi sosial kita, terutama melalui media sosial, justru berlipat ganda tepat saat kita terpecah belah. Apakah konsekuensinya?

Sejarah membuktikan bahwa kita bisa menjaga keharmonisan dengan kasih sayang dan kebaikan, dan menjaga kesinambungan ketika berkumpul bersama. Anonimitas dan kurangnya interaksi tatap muka di media sosial menghilangkan bagian penting dari persamaan sosialisasi manusia—dan itu membuka pintu bagi wujud agresi yang lebih sering dan buruk. Bersikap jahat, terutama kepada orang yang tidak perlu Anda temui secara langsung, kini menjadi lebih mudah dilakukan. Tidak adanya dampak langsung memicu semakin maraknya agresi, kelancangan, dan kekejian di media sosial.

Baca Juga: Tren Video ASMR, Benarkah Bisa Bermanfaat Sebagai Pereda Stres?

Kecanduan media sosial punya banyak dampak negatif (sagoon)
 

KARENA KITA AKAN TERUS terpengaruh oleh siapa yang kita temui di dunia maya, pertanyaan selanjutnya adalah: Siapa yang kita ingin temui? Masyarakat macam apakah yang kita ingin bentuk dan dibentuk? Lalu, bagaimana kita memodifikasi siapa yang telah dibentuk oleh otak dan tubuh kita—sehingga bisa mengurangi agresi?

Evolusi manusia berhasil karena otak besar kita memungkinkan kita berkumpul dan bekerja sama dengan cara yang lebih kompleks dan beragam daripada makhluk lainnya. Kemampuan untuk mengamati bagaimana dunia beroperasi, membayangkan perbaikan yang mungkin dilakukan, dan mengubah visi menjadi realitas (atau setidaknya mengupayakannya) adalah kelebihan manusia.