Internet Sehat: Apakah Kita Sejahat Kelakuan Kita di Daring?

By Warsono, Jumat, 31 Mei 2019 | 12:43 WIB
Hand using smartphone with Social media concept. (CASEZY)

Maka, di sinilah letak solusi bagi masalah ini. Kita dibekali dengan kemampuan untuk mencegah agresi dan mendorong kohesi.

Selama ribuan tahun, manusia bertindak secara kolektif untuk menghukum dan mempermalukan aksi agresif dan antisosial semacam perundungan atau penindasan. Di media sosial, itikad terbaik bisa berkembang menjadi ajang caci-maki. Namun menghadapi perundung dengan aksi kelompok—respons komunal yang logis, alih-alih sergahan individual—bisa lebih efektif dalam meredam agresi.

Baca Juga: Dua Beruang Hitam Terekam Sedang Bertengkar di Pekarangan Rumah Warga

Lihatlah dampak gerakan #MeToo, gerakan Time’s Up, dan gerakan Black Lives Matter. Lihatlah tekanan publik pada media untuk memonitor “berita palsu” dan ujaran kebencian.

Inilah contoh tepat tentang bagaimana manusia bisa memanfaatkan media sosial untuk membina hal positif dan memberikan sanksi pada hal negatif.

Setelah kasus penembakan masal di Marjory Stonemand Douglas High School di Parkland, Florida, siswa aktivis menyebutkan nama-nama akun Twitter pengganggu mereka, yang berujung pada penutupan akun tersebut. Pawai neo-Nazi berkurang, dan sebagian situs yang menyuarakan kebencian telah ditutup—semua terjadi karena ribuan orang menghadang dan mengatakan, “Tidak lagi.”

Ya, kelihatannya dunia memang semakin agresif, tetapi itu bukan karena kita pada dasarnya agresif. Itu terjadi karena kita tidak maju bersama, untuk menjalankan tugas sosial sulit saat ini. Itu berarti kita harus aktif melawan tindakan perundungan, penindasan, pelecehan agresif, dan menggalakkan sikap dan tindakan prososial. Baik secara pribadi maupun di media sosial, kita harus melakukannya.

OLEH : AGUSTÍN FUENTES