Internet Sehat: Apakah Kita Sejahat Kelakuan Kita di Daring?

By Warsono, Jumat, 31 Mei 2019 | 12:43 WIB
Hand using smartphone with Social media concept. (CASEZY)

Nationalgeographic.co.id - “SEHARUSNYA LEHERMU DIGOROK dan mayatmu yang busuk penuh belatung diumpankan pada celeng.” Seorang pengguna Facebook anonim menuliskan itu—dan hal lain yang tidak pantas ditulis di sini—kepada Kyle Edmund setelah pemain tenis Inggris itu kalah dalam turnamen pada 2017.

Pada Hari Martin Luther King tahun ini, pengguna Twitter anonim mengultuskan pria pembunuh King 50 tahun silam: “Beristirahatlah dengan damai James Earl Ray. Pejuang sejati ras kulit putih.” Pada bulan yang sama, Presiden AS Donald Trump mencuit bahwa “Tombol Nuklir[nya]… jauh lebih besar dan ampuh,” daripada milik Kim Jong Un. Inilah puncak berminggu-minggu adu pernyataan. Trump menyebut pemimpin Korea Utara itu “Rocket Man” dan “orang gila” dan Kim menyebut Trump “gangster” dan “orang Amerika pikun berotak miring.”

Akhir-akhir ini, dunia maya menjadi ranah panas. Agresi di media sosial telah mencapai puncaknya, sehingga beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat AS mengajukan proposal pencanangan “Hari Sopan Santun Nasional” tahunan. Proposal itu memancing tanggapan masyarakat—selain cuitan dan unggahan kebencian, olok-olok, dan caci-maki.

Baca Juga: Membuat Paspor 'Online', Proses Antre Bisa Dilakukan Melalui Aplikasi

SEMUDAH APAKAH memberikan hinaan anonim di media sosial? Sebagaimana yang divisualisasikan oleh seniman Javier Jaén, ini semudah melontarkan telur dengan katapel—dalam hal ini, telur biru avatar anonim di Twitter. Tujuannya adalah mengungkapkan “kebencian di era Internet, terutama di jejaring sosial burung biru,” kata Jaén. “Saya sudah menunggu para troll Twitter mencela gambar ini.” (Javier Jaén)

Apakah agresi di sosial media ini mencerminkan watak manusia, salah satunya yakni bahwa kita, pada dasarnya, adalah makhluk yang jahat dan beringas?

Tidak.

Kejahatan berdasarkan kebencian sedang marak, hiruk-pikuk politik sedang panas, dan tingkat ujaran pedas di ranah publik, terutama daring, sangat umum. Namun penyebabnya bukan media sosial yang mengungkap watak brutal manusia.

Sebagai antropolog evolusioner, saya telah bertahun-tahun meneliti dan menulis tentang bagaimana, selama dua juta tahun terakhir, garis keturunan kita bertransformasi.

Bagaimana kita melakukan ini? Otak kita membesar, dan kapasitas untuk bekerja sama, membuncah. Kita diprogram untuk bekerja sama, membentuk beragam jenis relasi sosial, dan secara kreatif memecahkan masalah bersama. Ini adalah warisan yang dibawa semua manusia abad ke-21.

Menurut saya, maraknya agresi daring disebabkan oleh ledakan dari perpaduan antara keterampilan sosial evolusioner manusia ini, tren media sosial, dan konteks politik dan ekonomi spesifik yang kita temukan sendiri—yang membuka ruang untuk mengompori agresi dan caci-maki di dunia maya.

Baca Juga: Temuan Ahli Antropologi di Balik Mantra Misterius dari Barus

Social Media ()
 

IZINKAN SAYA MENJELASKAN. Kita semua pernah mendengar semboyan kesadaran berdiet. “Anda adalah apa yang Anda makan.” Namun dalam hal perilaku, variasi yang lebih tepat adalah “Anda adalah siapa yang Anda temui.” Bagaimana kita berpikir, mengalami, dan bertindak di dunia ini secara tajam dibentuk oleh siapa dan apa yang ada di sekitar kita setiap hari—keluarga, komunitas, institusi, keyakinan, dan panutan.

Sumber pengaruh ini mencari jalan, bahkan sampai  sistem neurobiologi kita. Otak dan tubuh secara terus-menerus mengalami perubahan halus sehingga cara pandang kita terhadap dunia dipengaruhi dan berkaitan dengan pola orang dan tempat yang paling terhubung dengan kita.

Proses ini memiliki akar evolusi yang dalam, dan menghasilkan apa yang kita sebut realitas bersama. Hubungan antara pikiran dan pengalaman memungkinkan kita berbagi ruang dan bekerja sama secara efektif, lebih dari sebagian besar makhluk lainnya. Sebagian dari hal inilah yang menyebabkan kita menjadi spesies yang berhasil.

Baca Juga: Kisah Friedrich Silaban, Anak Pendeta yang Rancang Masjid Istiqlal

Namun “siapa” dalam “siapa yang kita temui” di sistem ini telah berubah. Saat ini, siapa tersebut bisa mencakup teman sosial media yang lebih bersifat maya daripada nyata; lebih banyak informasi yang diserap via Twitter, Facebook, dan Instagram daripada pengalaman sosial fisik.

Kita hidup di masyarakat yang kompleks, yang dibentuk oleh proses politik dan ekonomi, yang pada gilirannya menghasilkan kesenjangan dan pemisahan besar. Pembagian ini menghasilkan berbagai macam prasangka dan titik buta yang memecah belah. Interaksi sosial kita, terutama melalui media sosial, justru berlipat ganda tepat saat kita terpecah belah. Apakah konsekuensinya?

Sejarah membuktikan bahwa kita bisa menjaga keharmonisan dengan kasih sayang dan kebaikan, dan menjaga kesinambungan ketika berkumpul bersama. Anonimitas dan kurangnya interaksi tatap muka di media sosial menghilangkan bagian penting dari persamaan sosialisasi manusia—dan itu membuka pintu bagi wujud agresi yang lebih sering dan buruk. Bersikap jahat, terutama kepada orang yang tidak perlu Anda temui secara langsung, kini menjadi lebih mudah dilakukan. Tidak adanya dampak langsung memicu semakin maraknya agresi, kelancangan, dan kekejian di media sosial.

Baca Juga: Tren Video ASMR, Benarkah Bisa Bermanfaat Sebagai Pereda Stres?

Kecanduan media sosial punya banyak dampak negatif (sagoon)
 

KARENA KITA AKAN TERUS terpengaruh oleh siapa yang kita temui di dunia maya, pertanyaan selanjutnya adalah: Siapa yang kita ingin temui? Masyarakat macam apakah yang kita ingin bentuk dan dibentuk? Lalu, bagaimana kita memodifikasi siapa yang telah dibentuk oleh otak dan tubuh kita—sehingga bisa mengurangi agresi?

Evolusi manusia berhasil karena otak besar kita memungkinkan kita berkumpul dan bekerja sama dengan cara yang lebih kompleks dan beragam daripada makhluk lainnya. Kemampuan untuk mengamati bagaimana dunia beroperasi, membayangkan perbaikan yang mungkin dilakukan, dan mengubah visi menjadi realitas (atau setidaknya mengupayakannya) adalah kelebihan manusia.

Maka, di sinilah letak solusi bagi masalah ini. Kita dibekali dengan kemampuan untuk mencegah agresi dan mendorong kohesi.

Selama ribuan tahun, manusia bertindak secara kolektif untuk menghukum dan mempermalukan aksi agresif dan antisosial semacam perundungan atau penindasan. Di media sosial, itikad terbaik bisa berkembang menjadi ajang caci-maki. Namun menghadapi perundung dengan aksi kelompok—respons komunal yang logis, alih-alih sergahan individual—bisa lebih efektif dalam meredam agresi.

Baca Juga: Dua Beruang Hitam Terekam Sedang Bertengkar di Pekarangan Rumah Warga

Lihatlah dampak gerakan #MeToo, gerakan Time’s Up, dan gerakan Black Lives Matter. Lihatlah tekanan publik pada media untuk memonitor “berita palsu” dan ujaran kebencian.

Inilah contoh tepat tentang bagaimana manusia bisa memanfaatkan media sosial untuk membina hal positif dan memberikan sanksi pada hal negatif.

Setelah kasus penembakan masal di Marjory Stonemand Douglas High School di Parkland, Florida, siswa aktivis menyebutkan nama-nama akun Twitter pengganggu mereka, yang berujung pada penutupan akun tersebut. Pawai neo-Nazi berkurang, dan sebagian situs yang menyuarakan kebencian telah ditutup—semua terjadi karena ribuan orang menghadang dan mengatakan, “Tidak lagi.”

Ya, kelihatannya dunia memang semakin agresif, tetapi itu bukan karena kita pada dasarnya agresif. Itu terjadi karena kita tidak maju bersama, untuk menjalankan tugas sosial sulit saat ini. Itu berarti kita harus aktif melawan tindakan perundungan, penindasan, pelecehan agresif, dan menggalakkan sikap dan tindakan prososial. Baik secara pribadi maupun di media sosial, kita harus melakukannya.

OLEH : AGUSTÍN FUENTES