Perempuan Jepang Emoh Pakai Sepatu Hak Tinggi, Petisi Online Ini Jadi Viral

By , Selasa, 11 Juni 2019 | 13:13 WIB
Sepatu hak tinggi menyimpan beberapa risiko kesehatan (thenypost)

Nationalgeographic.co.id - Ada kabar menarik dari Jepang. Dari negeri matahari terbit itu terbetik kabar, ribuan perempuan bergabung dalam gerakan #KuToo. Kampanye ini terus membesar dan dapat perhatian dunia.

Ingin tahu gerakan ini? #KuToo adalah kampanye media sosial untuk menolak ketentuan bahwa perempuan harus mengenakan hak tinggi di tempat kerja.

Saat ini sudah hampir 20 ribu perempuan Jepang yang menandatangani petisi online yang viral itu. Mereka menuntut pemerintah untuk melarang perusahaan-perusahaan mewajibkan pekerja perempuan untuk mengenakan hak tinggi. Ketentuan itu adalah contoh diskriminasi gender, kata Yumi Ishikawa, perempuan Jepang yang memulai kampanye itu.

Baca Juga: Perempuan Intelek Ini Temukan Metode Ungkap Pelaku Bom Bunuh Diri

Kampanye #KuToo sendiri diambil dari kata Jepang untuk sepatu atau “kutsu” dan “kutsuu” yang artinya sakit.

Ilustrasi sepatu hak tinggi (pexels.com)

Artis dan penulis lepas berusia 32 tahun itu berharap petisi yang diserahkan ke Menteri Kesehatan pada Senin (3/6) akan membawa perubahan di tempat kerja dan kesadaran mengenai diskriminasi gender.

Ishikawa meluncurkan kampanye itu setelah mencuit tentang keharusan mengenakan sepatu berhak tinggi untuk pekerjaan paruh waktu di rumah duka. Tak disangka, cuitan Ishikawa mendapat respons luar biasa dari para wanita.

“Setelah bekerja, para pekerja perempuan berganti dengan sepatu olahraga atau sepatu tanpa hak,” kata dia dalam petisi tersebut. Ishikawa menambahkan, sepatu berhak tinggi sering kali mengakibatkan bunion atau benjolan pada jempol kaki, lecet-lecet dan sakit di punggung bagian belakang.

Baca Juga: Kehilangan Puluhan Juta Tak Surutkan Semangat Pengusaha Sepatu di Mojokerto

Ilustrasi sneakers (Freepik.com/mizkit)

“Jadi susah bergerak. Anda tidak bisa lari dan kaki Anda sakit. Semua hanya demi sopan santu,” tulis Ishikawa sambil menyoroti bahwa laki-laki tidak menghadapi tuntutan yang sama.