Nationalgeographic.co.id— Jumat pagi, 10 Mei 1940. Seorang pemantau udara melihat pembom dari Luftwaffe Jerman terbang ke arah Laut Utara. Begitu melewati laut, pesawat itu berbalik arah menuju daratan Belanda dan melakukan serangan. Hari itu telah menandai terseretnya Belanda dalam pusaran Perang Dunia Kedua.
Sebelum Belanda menyerah, Ratu Wihelmina mengungsi ke Inggris. Pertempuran berkecamuk selama lima hari. Kemudian, orang-orang Belanda mengenang perjuangan mereka dengan "Slag om Nederland"—Pertempuran Belanda. Tentara Hitler menduduki Belanda sejak Mei 1940 hingga Mei 1945.
Bagaimana pandangan orang-orang negeri jajahan Belanda, khususnya bumiputra Hindia Belanda, tentang penaklukkan Nazi Jerman terhadap Kerajaan Belanda?
Ada catatan menarik dari B.J. Bijkerk, seorang asisten perawat Gemeente Ziekenhuis Juliana—kini Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung—yang mengungkapkan ekspresi warga bumiputra di Hindia Belanda saat peringatan setahun pendudukan Jerman atas Belanda. Catatan itu sampai pada kita karena Bijkerk menjadi salah satu penyintas bencana kapal tenggelam dan tawanan perang Jepang di Sumatra (tautan di bawah ini).
Baca juga: Tenggelamnya Kapal Poelau Bras Jelang Tamatnya Hindia Belanda
“Pada peringatan penyerbuan Jerman ke Nederland, pada tanggal 10 Mei 1941 orang-orang pribumi memenuhi masjid-masjid untuk berdoa khusus,” ungkap Bijkerk.
Dia berkisah bahwa pada peringatan setahun penyerbuan Jerman ke Belanda, Mangkunagara VII, yang bertakhta di Praja Kadipaten Mangkunegaran Surakarta, turut bersimpati. Sang Raja itu berkirab mengelilingi keraton bersama rakyatnya demi mendoakan keselamatan Ratu Wilhelmina dan Negeri Belanda.
Mangkunagara VII berkirab mengelilingi keraton bersama rakyatnya demi mendoakan keselamatan Ratu Wilhelmina dan Negeri Belanda.
Kisah pengalamannya jelang tutupnya Hindia Belanda itu diterbitkan dalam buku bertajuk Vaarwel, Tot Betere Tijden pada 1974. Edisi berbahasa Indonesia diterbitkan penerbit Djambatan pada 1988. Banyak buku harian atau catatan semasa yang berkisah tentang masa-masa ketegangan jelang Jepang menaklukkan Hindia Belanda atau kesaksian para penyintas tawanan perang. Namun, sungguh jarang catatan semasa yang merekam kesaksian tentang timbang hati bumiputra ketika awal Perang Dunia Kedua mencengkeram Eropa.
Sejarah mencatat jalannya sumbu mesiu Perang Dunia Kedua, yang bermula saat penyerbuan Jerman ke Polandia pada 1939, pada akhirnya merembet juga ke Belanda. Pada Jumat, 10 Mei 1940, Nazi Jerman melancarkan serbuan ke Belanda. Empat hari kemudian negeri kincir angin itu resmi takluk.Ratu Wilhelmina, sebagai pemegang pemerintahan Kerajaan Belanda, pun mengungsi ke London, Inggris.
Dampaknya bagi Hindia Belanda, pemerintah segera memberlakukan undang-undang darurat perang dan membekukan berbagai pertemuan politik warganya. Jam sekolah diperpendek karena pasokan guru-guru dari Belanda terhenti karena perang. Ketika itu wajib militer menjadi hal yang utama ketimbang harus mengajar di Hindia Belanda.
Baca juga: Kota Cimahi Simpan Monumen Junyo Maru, Petaka Laut Perang Dunia Kedua
Membedah Target Ambisius Mozambik Memaksimalkan Potensi 'Blue Carbon' Pesisirnya
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR