Pembukaan peringatan setahun penyerbuan Jerman ke Belanda itu digelar pada Sabtu. Seluruh rakyat Hindia Belanda mengibarkan bendera setengah tiang, demikian kisah Bijkerk. KNIL dan pandu mengawal pengibaran bendera untuk peringatan itu. Karangan bunga bergerombol di sekitar tiang bendera. Bijkerk juga memerikan, “Wanita-wanita pribumi, yang berpakaian compang camping, meletakkan bunga di kaki tiang-tiang bendera.”
Dalam upacara yang diiringi derap genderang, bendera merah-putih-biru setengah tiang itu dinaikkan sepenuhnya tepat pada pukul sepuluh malam, demikian ungkap Bijkerk. Acara peringatan keprihatinan atas nasib Belanda ini berlangsung lima hari.
Di Batavia, Gubernur Jenderal Jhr. Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan istrinya menghadiri upacara penutupan peringatan keprihatinan itu di Sociëteit Concordia pada Rabu 14 Mei 1941. Acara penutupan itu mengumandangkan misa Requiem gubahan Wolfgang Amadeus Mozart yang dibawakan Bataviaanse Oratorium dan orkestra NIROM.
“Jarang ada suatu rasa persatuan yang demikian eratnya,” ungkap Bijkerk. Warga Hindia Belanda, yang sejatinya juga serba kekurangan, turut berempati lewat sumbangan dana perang.
Suasana darurat perang sampai juga ke Hindia Belanda, demikian menurut gambaran Bijkerk. Perempuan itu juga mengungkapkan informasi yang tampaknya terlewat untuk dibeberkan kepada publik tentang sumbangan dana perang dari Hindia Belanda. “Jarang ada suatu rasa persatuan yang demikian eratnya.”
Warga Hindia Belanda, dari Sumatra sampai Ambon yang sejatinya juga serba kekurangan, turut berempati lewat sumbangan dana perang. Menurut catatan Bijkerk, semuanya terkumpul setidaknya sejumlah ƒ572.000. Dari jumlah tersebut, warga Ambon yang jumlahnya sedikit itu menyumbang hingga ƒ100.000, sementara Mangkunagara dan Susuhunan Pakubuwana di Surakarta masing-masing menyumbang ƒ15.000.
Bijkerk mengungkapkan dana sumbangan dari rakyat Hindia itu telah dibelanjakan untuk membuat 100 pesawat pemburu, 36 pesawat pembom, beberapa tank, dan sederet alutsista lainnya untuk pasokan Perang Dunia Kedua. “Kenyataannya adalah bahwa kaum inlander dengan pendapatan mereka yang kecil itulah yang sangat royal dalam bantuannya.”
Baca juga: Kapal Jerman Ditenggelamkan di Ujung Sumatra
Sepanjang 1941, tampak rasa keprihatinan bersama telah membungkus rasa persatuan di Hindia Belanda, antara pribumi dan Belanda. Barangkali, inilah kenangan manis dan terakhir di negeri koloni itu. Sampai-sampai “papan-papan dengan kata-kata Verboden voor honden en Inlander—Terlarang bagi Pribumi dan Anjing—mulai menghilang dari wajah kota,” tulis perempuan itu.
Sejatinya sumbangan Hindia Belanda itu tidak hanya berbentuk uang seperti kisah Bijkerk, tetapi juga sumber daya alam. Pada masa 1940-1941, Hindia Belanda juga menggenjot produksi sumber daya alam mereka, seperti timah dan karet, yang dibutuhkan untuk memasok perlengkapan militer Amerika.
“Tetapi, tak ada yang sedikitpun menduga bahwa beberapa bulan lagi,” ungkap Bijkerk dalam bukunya, “Hindia Belanda yang telah cedera sulit untuk mengumpulkan dana guna pertahanannya sendiri.”
Baca juga: Virginia Hall, Mata-mata Perempuan Paling Berbahaya di Perang Dunia II
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR