Nationalgeographic.co.id— Beberapa waktu lalu Martin Luning, seorang warga Australia menghubungi saya. Dia adalah cucu dari Hans Luning (1907-1995), seorang tawanan perang Jepang yang selamat dari bencana tenggelamnya Junyo Maru. Ingatan saya pun mengembara pada salah satu insiden bencana terbesar Perang Dunia II itu.
Dalam memoarnya Hans Luning menulis, "Sekitar setengah enam pagi kami terbangun karena kilatan cahaya dan guncangan seisi kapal. Pada awalnya saya pikir itu ledakan boiler. Kami melompat bebarengan berebut menuju ke dek. Beberapa detik setelah ledakan pertama, gelegar ledakan kedua menyusul. Asap mesiu menerpa kami. Sirene kapal meraung menyadarkan kami bahwa kapal telah terkena torpedo. Suasana panik. Kapal kami masih tinggi di air, tapi tanpa berpikir lebih lanjut, saya melompat ke laut".
Kapal kargo berbendera Jepang, Junyo Maru, berisi orang-orang tawanan perang Jepang. Kapal naas yang berlayar dari Tanjung Priok menuju Padang itu telah ditorpedo oleh kapal selam Inggris H.M.S. Tradewind di perairan dekat kota Muko Muko, Bengkulu pada 18 September 1944. Rupanya buruknya komunikasi menyebabkan komandan kapal selam H.M.S. Tradewind tak mengetahui bahwa kapal kargo Jepang itu mengangkut para tawanan perang.
Junyo Maru mengangkut sekitar 6.500 orang terdiri atas 2.300 orang Belanda, Amerika, Inggris, dan Australia; dan 4.200 kuli Jawa. Setelah terjadi bencana dahsyat itu, sekitar 680 tawanan perang dan 200 kuli Jawa berhasil diselamatkan oleh kapal motor Jepang, artinya lebih dari lima ribu nyawa lainnya telah binasa di lautan. Mereka yang selamat pun harus rela didera kerja paksa untuk membangun jaringan rel kereta Pekanbaru-Muaro Sijunjung sejauh 220 kilometer!
Baca juga: Roti Berbiang Air Kencing di Kamp Tawanan Jepang untuk Bertahan Hidup
Bendera Merah-Putih-Biru berkibar di tengah Ereveld Leuwigajah Cimahi, sebuah taman makam kehormatan untuk para korban-korban tawanan perang di pihak Belanda. Permakaman itu dikelola oleh Oorlogsgravenstichting, lembaga permakaman perang yang berkantor pusat di Den Haag, Belanda. Sebuah prasasti terukir dalam bahasa Belanda dan Indonesia di sebuah monumen yang ditempatkan di dekat pintu masuk: "Untuk menghormat kepada mereka yang tidak tersebut namun telah mengorbankan hidupnya dan tidak beristirahat di taman makam kehormatan."
Stichting Herdenking Junyo Maru, sebuah yayasan yang mengenang peristiwa tragis tersebut, mendirikan Monumen Junyo Maru. Monumen tersebut mengenang tak hanya bagi mereka yang tewas dalam bencana kapal Junyo Maru, namun ditujukan juga bagi semua yang binasa di laut kala perang 1942-45. Plakat monumen yang diresmikan 21 September 1984 itu tertulis," Herdenking Slachtoffers Zeetransporten 1942-1945, Stichting Junyo Maru".
Dari sebuah pemakaman sunyi Monumen Junyo Maru berpesan kepada kita bahwa perang dan pertikaian di mana pun itu, hanya akan membawa kekacauan dan kesengsaraan bagi mereka yang bertikai, maupun para warga sipil tak berdosa. "Terima kasih telah menulis kenangan tentang kakek saya," tulis Martin lewat surat elektronik kepada saya.
Baca juga: Siapakah Pilot Kamikaze Pertama Jepang dan Bagaimana Sejarah Kamikaze?
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR