Fakta Desain Apik Gedung Mahkamah Konstitusi, Hakim Pernah Berkantor di Hotel Santika hingga Jadi Spot Instragram

By , Jumat, 14 Juni 2019 | 15:49 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi didesain dengan arsitektur Yunani atau Romawi Kuno (Elisabeth Novina)

Nationalgeoraphic.co.id - Gedung Mahkamah Konstitusi kini sedang ramai. Maklum, mulai hari ini, Mahkamah Konstitusi menggelar sidang sengketa hasil pemilihan presiden dalam Pemilihan Umum 2019. Terlepas dari perkara sengketa, arsitektur dan bangunan kantor Mahkamah Konstitusi pun telah lama menarik perhatian.

Ada sejumlah fakta menarik terkait dengan sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi di negara ini. Yuk, kita bedah satu per satu ya.

Sebelum memiliki gedung sendiri, pertama kali MK berkantor di Hotel Santika yang berada di jalan KS Tubun, Slipi, Jakarta Barat. Hotel itu pun difungsikan sebagai penginapan sementara para Hakim Konstitusi yang berasal dari luar Jakarta.

Setelah kurang lebih satu bulan berkantor di Hotel Santika, kantor MK pindah ke Plaza Centris, Lt. 4 dan Lt. 12A, HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Karena keterbatasan ruang, akhirnya lahan parkir pun “disulap” menjadi ruang kerja. Sedangkan untuk menggelar persidangan, saat itu MK harus menumpang di gedung Nusantara IV (Pusataka Loka), kompleks MPR/DPR.

Baca Juga: Makna Arsitektur Masjid Al Safar Karya Ridwan Kamil yang Dapat Penghargaan Dunia

Aparat kepolisian melakukan pengamanan sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2019). (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Pada 2004, MK juga sempat meminjam gedung milik Kementrian Komunikasi dan Informasi di Jalan Merdeka Barat No. 7, Jakarta Pusat. Setelah itu, pada 17 Juni 2005, pembangunan gedung MK yang sesungguhnya resmi dimulai.

Pembangunan gedung MK yang berada di Jalan Merdeka Barat No. 6 itu memakan waktu 2 tahun dan menelan biaya sekitar Rp200 miliar. Desain bangunan bergaya Yunani atau Romawi kuno itu diputuskan berdasar kesepakatan para Hakim Konstitusi dan diwujudkan oleh Ir. Soprijanto.

Seperti dipaparkan dalam Buku Sejarah Pembangunan Gedung MK terbitan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK (2007), ide awal membangun Gedung MK sudah dibicarakan para Hakim Konstitusi. Untuk lokasi, pilihan jatuh di lahan Plaza Telkom yang lokasinya persis sebelah Gedung MK lama (Gedung Kemenko Perekonomian). Akhirnya, MK membeli tanah dan bangunan dari PT Telkom dengan sertipikat HGB seluas 4.220 M2 seharga Rp49.104.852.000.

Suasana sidang perdana sengketa pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (14/6/2019). (KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

Setelah melalui kajian arsitektural, para Hakim Konstitusi sepakat memilih konsep desain gedung gaya neo klasik ala Yunani atau Romawi kuno, tetapi tetap menghadirkan cita rasa modern. Salah satu yang diakomodir keinginan para Hakim Konstitusi adanya kolom (pilar) sebagai simbol sembilan Hakim Konstitusi. Kemudian konsep arsitektural itu ditindaklanjuti Ir. Soprijanto selaku arsitektur pembangunan gedung MK.      

Pada 17 Juni 2005, pembangunan Gedung MK resmi dimulai yang ditandai dengan pemancangan tiang pertama oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Sekitar dua tahun lebih pembangunan Gedung MK di Jalan Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat selesai pada 13 Agustus 2007 bertepatan dengan peringatan ulang tahun MK yang ke-4. Biaya pembangunan Gedung MK itu sendiri bersumber dari APBN MK 2004-2007.    

“Pembangunan gedung MK itu menelan biaya sekitar Rp200 miliar, setelah selesai pembangunan kita memberi penghargaan (sertifikat) kepada kontraktor Pembangunan Perumahan (PP) karena dengan anggaran sebesar itu bisa optimal menghasilkan bangunan gedung yang berkualitas, gedung yang bebas KKN,” klaim Sekretaris Jenderal MK, Janejdri M Gaffar di ruang kerjanya. 

Baca Juga: Harmonisasi Masyarakat Tanjung Balai dalam Arsitektur dan Kuliner  

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta Pusat, Selasa (21/5/2019). (CHRISTOFORUS RISTIANTO/KOMPAS.com)

Seperti dikutip dalam buku “Rancang Bangun Gedung MK”, pembangunan gedung MK ini diniatkan sebagai “Rumah Konstitusi”. Soalnya, di gedung itulah sengketa konstitusional, sengketa pemilu, konflik antar lembaga negara bakal diputus. Desain Gedung MK selain mengedepankan estetika juga menampilkan karakter gedung sesuai kedudukan MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.   

Sejak resmi berdiri desain Gedung MK mengkombinasi antara podium dan menara. Podium yang terdiri dari 4 lantai dengan gaya klasik tampil sebagai gedung utama, sedangkan menaranya yang terdiri dari 16 lantai dibangun dengan gaya modern menjadi background podium. Bagian podium dilengkapi dengan tangga, pilar-pilar, kubah, dan mahkota kubah. Sementara bagian menara meski dirancang dengan gaya modern, tetapi tetap menampilkan gaya gotik dengan sentuhan nuansa klasik.

Beragam tafsiran masyarakat bisa disematkan pada Gedung MK tentang gaya arsitek model apa dengan kombinasi klasik dan modern ini? Tentunya, gaya arsitektur setiap sisi bangunan gedung MK merefleksikan minat seni dan sarat makna. Misalnya, makna simbol pilar yang berjumlah sembilan buah mencerminkan jumlah Hakim Konstitusi yang menjadi garda depan berfungsinya lembaga “pengawal konstitusi“ ini.

“Sebenarnya, pilar berjumlah ganjil ini tidak dikenal rumus arsitektur, makanya sempat ditentang oleh Tim Penasihat Arsitektur Kota DKI, tetapi Ketua MK Jimly tetap mempertahankan desain sembilan pilar itu karena tidak ada aturan yang melarang,” katanya.     

Baca Juga: Melihat Arsitektur Menakjubkan di Situs Warisan Dunia Pertama di India

Selain itu, kubah mencerminkan kekuasaan, keagungan, kewibawaan sebagai lembaga peradilan tata negara yang bebas dan merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan. Demikian pula dengan mahkota kubah yang melambangkan yang melambangkan supremasi konstitusi yakni UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi.

Sebagai sebuah “Rumah konstitusi”, di balik kesan wibawanya itu, desain gedung MK ini juga mengesankan ramah terhadap rakyat. Salah satunya diwujudkan dengan desain tanpa pagar yang dihiasi dengan sebuah taman kecil yang ditata secara apik di halam depan Gedung MK. Hal itu melambangkan keterbukaan MK terhadap masyarakat umum termasuk menyampaikan aspirasi (demonstrasi). Dengan membiarkan halaman terbuka, MK berupaya menghilangkan kesan bahwa Gedung MK bersifat angkuh.

“Filosofisnya, lembaga peradilan ini sengaja didesain ramah terhadap masyarakat, bangunan gedungnya tidak ada pagarnya,” kata pria yang akrab disapa Janed ini.             

Penataan yang apik sempat menarik perhatian Dinas Pertamanan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang kemudian memberi penghargaan terhadap MK sebagai “Gedung Ramah Lingkungan.” Pasalnya, semangat dasar bangunan gedung MK ini dianggap telah memberikan sumbangan cukup penting dalam pelestarian lingkungan dan penataan ruang kota. “Itu ada sertifikatnya ditandatangani oleh Gubernur DKI Sutiyoso,” tuturnya.          

Makanya, tak heran ketika dikunjungi berbagai sekolah atau perguruan tinggi untuk kepentingan study tour, halaman depan Gedung MK ini kerap dijadikan sarana “rekreasi”. Pasalnya, setelah kunjungan mereka kerap berfoto-foto ria di halaman depan dengan background Gedung MK. Demikian pula, pengunjung sidang dalam sengketa Pemilukada pun kerap menggunakan halaman depan Gedung sebagai sarana rekreasi karena umumnya mereka berasal dari luar Jakarta.

Baca Juga: Raymond Loewy, Desainer Hebat Di Balik Megahnya Air Force One

“Kalau hari Sabtu-Minggu, gedung MK ini seolah dijadikan ‘objek wisata’, bahkan beberapa kali menghadiri acara kondangan, background Gedung MK dijadikan foto prewedding, mungkin karena gedung MK ini unik,” katanya.

Apabila ditelusuri, ide pembentukan MK sebenarnya sudah tercetus saat sidang BPUPKI tahun 1945. Kala itu, Muhammad Yamin melontarkan ide tentang perlu dibentuknya organ yang menguji undang-undang terhadap UUD. Sayang, ide Yamin kandas begitu saja, dan tidak dimasukkan dalam rumusan UUD 1945.

Pasca reformasi, ide pembentukan MK menguat kembali. Konkretnya, lahir Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945, amandemen perubahan ketiga pada 10 November 2001. Lalu, ditindaklanjuti dengan pengesahan UU No. 24 Tahun 2003 yang menandai lahirnya MK sebagai negara yang ke-78 yang memiliki MK.   

Sejak berdiri hingga kini, eksistensi MK mulai mewarnai praktik sistem ketatanegaraan Indonesia lewat putusan-putusannya yang dinilai progresif. Awal kiprahnya, MK periode pertama (2003-2008) di bawah kepemimpinan Prof Jimly Asshiddiqie, MK belum memiliki gedung sendiri meski sudah dibebani pelimpahan perkara dari MA.