Situs Wadu Pa'a: Adikarya Sang Bima yang Tak Kunjung Tersingkap

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 22 Juni 2019 | 13:30 WIB
Situs Wadu Pa'a, sebuah untaian tebing yang menghadap teluk kecil di barat daya Teluk Bima. Mahandis Yoanata, Editor National Geographic Indonesia, tengah mengamati pahatan di dindingnya yang menautkan Hindu-Siwa, dan mungkin juga Buddhisme, sebuah pesan toleransi antarumat beragama dari leluhur. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Pemandangan teluk di Desa Sowa, situs Wadu Pa'a, Kabupaten Bima, Sumbawa. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)
 

Relief dan arca yang terukir di tebing ini sebagian masih dapat dikenali. Kami menyaksikan figur Ganesha, sosok yang hadir sebagai simbol ilmu pengetahuan. Ada juga figur Siwa dalam posisi berdiri, seperti pada candi-candi di Jawa. Namun, tidak semua mahakarya ini selamat. Sebagian telah rusak, terpenggal kepalanya atau raib badannya.

Di sebuah ceruk atau gua buatan, kami menyaksikan tiga dudukan arca yang dipahat dalam tebing, Kami hanya menyaksikan dudukannya karena ketiga arcanya telah hilang. Di ceruk itu pula sebuah untaian kata berbahasa Sansekerta diukir indah.

Sementara di dinding lain terukir semacam bangunan rumah dengan atap bersusun banyak. Saya menghitungnya, setidaknya ada sepuluh susunan.

Baca juga: Di Balik Layar Rekonstruksi Rumah Majapahit

Prasasti tebing berhuruf Jawa kuno berbahasa Sansekerta di Wadu Pa'a. Barangkali dipahat oleh para pendatang dari Jawa pada masa Majapahit, atau mungkin pada masa sebelumnya. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

“Ini lingga-yoni,” ujar fotografer Dwi Oblo, yang juga seorang arkeolog, sembari menunjuk relief di sudut tebing. “Ini adalah lambang Siwa.” Oblo menduga bahwa relief tebing ini merupakan bagian dari tempat suci berabad silam, jauh sebelum Islam memasuki Bima. “Jika dilihat dari gaya pahatannya, mungkin dibuat pada masa Majapahit atau sebelumnya.”

Lingga dan yoni itu berhadapan dengan satu sosok lelaki yang duduk bersila. Sayangnya, ukiran wajah lelaki tak lagi dapat dikenali. “Mungkin tempat ini utamanya untuk pemujaan bagi Hindu-Siwa,” Oblo menduga. “Namun, ada juga ada anggota kelompok mereka yang berkeyakinan Buddha. Mereka hidup bersama.”

Pendapat Oblo tentang relief yang mengacu ke sosok Buddha memang perlu ditinjau ulang demi memastikan kebenarannya. Namun, pada zaman Majapahit ajaran yang memadukan Hindu dan Buddha sudah lumrah menjadi keyakinan warganya, yang dikenal dengan Siwa-Buddha. Bahkan, ajaran ini masih berlanjut hingga hari ini di Nusantara.