Nationalgeographic.co.id - Pada musim panas 1816, Tiongkok mendapati kejanggalan cuaca. Salju di musim panas menimpa Tiongkok tenggara dan Taiwan yang meremukkan tanaman padi di kedua kawasan. Iklim Asia Timur pun terganggu, sehingga lembah Yangtze banjir di sisi selatan Tiongkok namun kekeringan ekstrim justru mendera Tiongkok utara.
Kegagalan panen tadi telah mendatangkan kemiskinan para petani. Mereka mencari jalan keluar dengan menjual tanaman yang cepat mendatangkan uang: Opium. Akibatnya, pada 1816-1817 terciptalah perkembangan besar dalam pasar opium di Asia.
“Tambora menyediakan satu contoh yang sangat baik yaitu volcanic winter atau musim dingin yang disebabkan oleh letusan gunung api,” papar Awang Harun Satyana, ahli geologi senior dan instruktur dalam Geotrek Indonesia—komunitas nirlaba bagi pencinta warisan geo-histori Indonesia.
Baca Juga : Kartografi Dunia Berutang Kepada Rempah Maluku
Besarnya energi letusan ini telah menginjeksi tebaran abu yang sangat halus dan gas sulfur, hingga memasuki lapisan stratosfer dan menjadi awan abu stratosfer dan aerosol. Tersebarnya partikel halus zat padat atau cairan dalam gas atau udara inilah yang mempengaruhi iklim. Atmosfer bak perisai yang menangkis sinar matahari, sehingga terjadi penurunan suhu di Bumi.
“Nah, itulah yang menyebabkan volcanic winter di Bumi. Tahun 1816, kita punya musim dingin di belahan utara yang muncul terus-menerus. Harusnya Juni musim panas, namun ini malah beku,” tambahnya.
Selama sekitar seribu tahun, gunung yang berada di Pulau Sumbawa itu terlelap, sebelum mulai tampak aktif pada 1812. Amarahnya berkecamuk pada 5 April 1815, dan mencapai puncaknya pada 10-11 April. Cerita tentang aktivitas Gunung Tambora pada masa sebelumnya tidak pernah tercatat oleh masyarakat. Sama sekali tidak ada sejarah yang bercerita tentang seperti apa karakter Tambora.
Letusan ini turut menandai tersuruknya kehidupan sosial ekonomi pulau-pulau terdekat dan berubahnya sejarah ekologi Tambora. Gunung ini memang telah merenda takdirnya sebagai sebuah petaka yang sempurna. Seperti makna “Tambora” yang dalam bahasa setempat berarti “ajakan untuk menghilang”.
Baca Juga : Kesaksian Perwira VOC Ketika Prahara 1740 di Tangerang
Apabila dibandingkan dengan energi erupsi Krakatau pada 1883, erupsi Tambora adalah empat kali lipatnya, demikian ungkap Awang.
Korban yang tewas karena dampak langsung erupsi Tambora sekitar 11.000 sampai 12.000 orang. Di Indonesia, imbuhnya, total yang binasa—entah karena dampak langsung awan panas, penyakit, dan kelaparan—jumlahnya sekitar lebih dari 71.000 jiwa pada 1815.
“Tapi di Eropa,” lanjut Awang, “sekitar 200 ribu tewas pada tahun berikutnya.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR