Kisah Pilu Mantri Kesehatan Meninggal Dunia di Belantara Papua, Kenali Suku Asli yang Dilayaninya

By , Senin, 24 Juni 2019 | 17:38 WIB
Patra Marinna Jauhari, seorang petugas medis yang menjalankan tugasnya di daerah pedalaman Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat saat terbaring sakit akibat malaria. (Istimewa)

Nationalgeographic.co.id - Petugas kesehatan bernama Patra Marinna Jauhari mendadak menjadi perbincangan warganet dan menghiasi berita media arus utama. Lelaki yang diketahui menjalankan profesi sebagai petugas kesehatan untuk Puskesmas Pembantu bagi masyarakat di pedalaman Papua itu meninggal dunia setelah sakit malaria.

Lelaki yang akrab disapa Mantri Patra itu menjalankan tugasnya dari Dinas Kesehatan Kabupaten Teluk Wondama untuk melayani masyarakat yang tinggal di Kampung Oya, Distrik Naikere

Ia sudah bertugas selama empat bulan lebih. Ia pun sudah menjalin keakraban dengan masyarakat di Kampung Oya, Distrik Naikere, Teluk Wondama.

Baca Juga: Di Pulau Papua, Suku Huli yang Gemar Berperang Merias Tubuh untuk Berikan Pesan Mengerikan Ini

Mantri Patra saat dikirim ke pedalaman papua (Facebook Ros Milka Kamma)

Buat Anda yang belum tahu masyarakat kampung ini mari kita berkenalan. Oya merupakan salah satu kampung di pedalaman distrik Naikere yang masih terpencil dan terisolasi. Tidak ada jalan darat, apalagi sarana telekomunikasi.

Wilayah di perbatasan antara Teluk Wondama dan Kabupaten Kaimana ini hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki atau menggunakan helikopter.

Untuk mencapai pusat distrik di Naikere, warga setempat biasanya berjalan kaki selama tiga sampai empat hari.

Baca Juga: Katak Berhidung Panjang Seperti Pinokio Ditemukan di Perbatasan Indonesia-Papua Nugini

Patra Marinna Jauhari, seorang petugas medis yang menjalankan tugasnya di daerah pedalaman Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. (Istimewa)

Jalanan yang dilewati masih berupa jalan setapak menyusuri gunung dan lembah di tengah hutan belantara.

Pada awal Februari 2019, Mantri Patra bersama seorang rekan diantar dengan helikopter ke Kampung Oya.

Mereka dijadwalkan bertugas selama tiga bulan dari Februari hingga Mei untuk kemudian dijemput kembali diganti petugas berikutnya.

Di Distrik Naikere yang berada di dalam belantara Papua Barat, setidaknya ada dua suku asli Papua yang tinggal di kampung-kampung, yang sulit dijangkau.

Baca Juga: Bercita-cita Dorong Warga Papua Jadi Presiden Indonesia, Lelaki Asal AS Ini Memilih Jadi WNI

Kabupaten Teluk Wondama. (dok. Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama.)

Pertama ada Suku Meire. Menurut catatan Steve Marani yang menuliskan pengalaman menjelajahi Distrik Naikere melalui situs web Pusaka, Suku Miere adalah salah satu suku kecil di Papua, yang penyebutan nama sukunya berdasarkan sebutan bahasa Miere yang digunakan.

Mereka kebanyakan berdiam dipedalaman dalam kawasan hutan sekitar Kali Jawore dan Kali Wosimi. Kampung Jawore, salah satu tempat tinggal Suku Miere. Kampung Jawore baru definitif sebagai pemerintahan sendiri pada tahun 2004, secara administratif kampung ini berada di Distrik Naikere, Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat.

Baca Juga: Bulbophyllum irianae, Spesies Anggrek Baru Yang Ditemukan di Papua

Kabupaten Teluk Wondama (dok. Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama)

Lokasi kampung Jawore berada disekitar muara atau pertemuan antara Kali Jawore dengan Kali Wosimi, kedua sungai ini berasal dari arah timur didaerah Kaimana. Air kali Jawore masuk ke kali besar Wosimi hingga bermuara ke Teluk Wondama. Sekitar muara kali Wosimi terdapat tanah datar dan dusun sagu yang luas dikelola oleh warga setempat untuk sumber pangan dan tempat berburu hewan liar.

"Pada Desember 2010, saya mendatangi Kampung Jawore, berjalan kaki mengikuti jalan setapak, melintasi gunung, menyusuri sungai Wosimi dan rawa-rawa didaerah ini, dengan waktu tempuh sekitar tujuh jam hingga tiba di Jawore," tulis Steve Marani dalam catatannya itu.

Kampung kecil, hanya ada satu bangunan rumah yang dibuat sendiri, empat rumah panjang yang dibangun dengan dana bantuan pemerintah dan satu gedung gereja. Tidak ada fasilitas kesehatan, sekolah dan fasilitas informasi komunikasi, radio, SSB dan sebagainya.

Wasior, ibu kota Kabupaten Teluk Wondama yang dilihat dari udara. (dok. Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama.)

Ketika itu, penduduk kampung kebanyakan pergi mengunjungi keluarga mereka di Kampung Senderawoi dan Rasiei, letaknya tidak jauh dari Kota Wasior, ibukota Kabupaten Teluk Wondama. Kampung sepi dan hanya ada Kepala Kampung dengan keluarga saja.

Kampung lain di Distrik Naikere yang saya kunjungi saat itu adalah Kampung Sararti dan Kampung Wombu, yang didiami oleh Suku Mairasi. Mereka sering disebut Suku Mairasi Wondama, karena kampungnya berada di wilayah pemerintahan Kabupaten Teluk Wondama. Kampung-kampung ini bisa dijangkau dengan kendaraan roda empat melewati jalan perusahaan kayu PT. Kurnia Tama Sejahtera. Tidak ada kendaraan umum disini, kecuali kendaraan truk milik perusahaan dan kendaraan aparat keamanan yang bertugas di kantor distrik setempat.

Saat itu, saya dan beberapa warga tidak menemukan kendaraan perusahaan. Kami terpaksa berjalan kaki dari dusun kecil di Wosimi, letak Kantor Distrik, menuju Kampung Sararti di Kilometer 38. Kami bersama warga Sararti mengunjungi Kampung Wombu untuk merayakan natal bersama. Orang tua, pemuda, anak-anak, ibu hamil, semuanya berjalan kaki sejauh lebih dari 10 Km hingga di Wombu.

Kampung Wombu, seperti daerah tempat persinggahan semua warga kampung-kampung dipedalaman sekitar Kaimana dan kepala sungai Naramasa, sebelum menuju Kota Wasior atau kembali dari kota untuk menuju ke kampung masing-masing. Saat itu, warga asal Kampung Sararti, Oya, Urere, Undurara, Nyora dan warga kampung asal Kaimana lain, sudah berada berkumpul di Kampung Wombu.

Disini, mereka merayakan natal bersama Suku Mairasi asal Kaimana dan Wondama, dengan sembahyang bersama, silaturahmi dan makan bersama secara sederhana.