Nationalgeographic.co.id - Hampir satu dekade lalu, SeaWorld menjadi topik utama di berbagai media dunia setelah paus berukuran 6,7 meter bernama Tilikum membunuh pelatihnya di penangkaran.
Menurut para peneliti, tindakan tersebut tidak wajar--kemungkinan disebabkan karena Tilikum stres setelah menghabiskan 27 tahun hidupnya di dalam akuarium.
Dengan menyusun dan menganalis beragam data ilmiah tentang kesejahteraan paus di penangkaran, sekelompok peneliti yang terdiri dari para ilmuwan mamalia, fisikawan, dan dokter hewan, mampu menghasilkan satu studi komprehensif yang dipublikasikan pada Journal of Veterinary Behavior.
Baca Juga: Greenland Bisa Kehilangan Esnya Jika Pemanasan Global Terus Terjadi
Mereka menyimpulkan bahwa menempatkan paus orca di 'lingkungan buatan' secara signifikan meningkatkan risiko penyakit dan kematian dini akibat stres kronis.
"Tidak banyak paus di alam liar yang melukai manusia. Namun, di penangkaran, justru banyak kematian dan cedera. Agresi yang berlebihan ini merupakan akibat dari kehidupan mereka yang terbatas di dalam tangki," papar Lori Marino, pemimpin penelitian.
Paus orca (Orcinus orca) adalah predator puncak yang sangat cerdas dan tersebar di seluruh dunia. Sebagai makhluk sosial kompleks dengan sistem keluarga terstruktur yang saling mengandalkan, paus orca memiliki otak terbesar dan paling rumit dalam kerajaan mamalia.
Namun, di sisi lain, mereka adalah spesies ketiga terbanyak yang dipelihara di penangkaran atau akuarium. Biasanya, paus orca akan menghabiskan puluhan tahun hidup di dalam tangki.
Saat ini, diperkirakan ada sekitar 63 paus yang ditempatkan di penangkaran. Beberapa di antaranya menunjukkan perilaku abnormal, mengalami infeksi, gangguan kesehatan, dan kematian dini, yang tidak akan kita lihat di lingkungan alamiahnya. Dengan kata lain: paus orca sulit bertahan di taman laut buatan manusia.
"Orang-orang yang setuju dengan taman laut mengklaim bahwa paus lebih aman di sana karena kebutuhan mereka terpenuhi dengan baik--tidak perlu berenang jauh untuk menemukan makanan karena sudah disediakan petugas. Namun, ini adalah pemikiran yang salah mengenai karakteristik paus orca," jelas Marino.
Selama jutaan tahun, orca memang berevolusi untuk melakukan perjalanan jauh dan menemukan tantangan saat mencari makanan. Ketika mereka tidak bisa melakukan hal ini di penangkaran, paus akan mengalami stres kronis dan efek lainnya.
Untuk membuktikan bagaimana hormon stres memengaruhi sistem kekebalan tubuh dan otak paus, para ilmuwan melibatkan lima faktor: pengurungan fisik, kurangnya kontrol, gangguan sensorik, stres sosial, serta kebosanan. Kelimanya sangat berkaitan dan kerap menimbulkan stres pada paus.
"Perilaku abnormal yang diamati pada paus orca di penangkaran tidak ditemukan pada hewan yang mampu menjelajah dengan bebas di lingkungan aslinya. Sebagian besar paus yang tinggal di 'tahanan' sering memarut giginya pada benda keras hingga giginya aus. Perilaku ini tidak ditemukan pada paus liar," ungkap Marino.
Baca Juga: Enam Fakta Menarik dari Semut yang Perlu Anda Ketahui, Apa Sajakah?
Ia menambahkan, orca di alam bebas juga tidak menunjukkan perilaku berulang (seperti berputar-putar) yang kerap dilihat pada hewan akuarium.
Bahkan dengan pemberian makan secara rutin dan perawatan sepanjang waktu, Marino mengatakan, analisisnya menunjukkan bahwa menempatkan orca di dalam tangki bukanlah hal yang benar.
"Ketika orca mati di taman laut dan akuarium, respons pemilik fasilitas selalu terkejut. Mereka menyangkal bahwa itu berkaitan dengan kehidupan di penangkaran. Padahal, kita seharusnya tidak kaget karena hal tersebut bukanlah misteri," tambah Marino.
Tim mencatat bahwa temuan mereka menyerukan 'perubahan radikal' tentang bagaimana cetacean diperlakukan untuk memastikan kebutuhan kompleks mereka dapat terpenuhi.