Editorial Juli 2019: Tahun Perayaan Astronomi dan Pembelajaran Sains

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 3 Juli 2019 | 19:17 WIB
Majalah National Geographic Indonesia edisi Juli 2019. (National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id— Suatu hari, ayah membingkiskan sebuah buku untuk saya. Sampulnya warna putih dengan potret seorang astronaut yang berjejak di Bulan. Ketika itu saya masih kanak-kanak, mungkin kelas satu sekolah dasar. Buku itu menjadi buku pertama saya tentang sains, sebuah ensiklopedia visual seputar ruang angkasa dan misi ke Bulan.

Ibu kerap membacakan halaman demi halaman setiap saya bersiap tidur malam. Bertahun-tahun kemudian, saya baru mengetahui bahwa astronaut dalam sampul buku itu bernama Buzz Aldrin, yang dipotret di Bulan pada 20 Juli 1969.

Tahun ini warga Bumi memperingati 50 tahun pencapaian manusia yang bisa berjalan-jalan di permukaan Bulan. Pada edisi ini kami menyajikan kisah feature tentang era perjalanan luar angkasa. Bagaimana manusia mencapai Bulan dan apa selanjutnya yang bisa kita lakukan. Jadi kapan perjalanan ke Mars bisa terwujud?

Tahun ini juga merupakan angka cantik untuk astronomi. Masih ingatkan kita dengan Johannes Kepler, seseorang yang membukakan pintu luar angkasa untuk pencapaian peradaban manusia. Kita merayakan 400 tahun penemuan Hukum Kepler Ketiga: ”Kuadrat periode suatu planet sebanding dengan pangkat tiga jarak rata-ratanya dari Matahari ”.

Baca juga: Dari Editor Juni 2019: Raffles dan Refleksi Kebinekaan di Tengger

Setidaknya terdapat 90 nama untuk Matahari dalam kebudayaan Jawa. Simak penuturan ahli astronomi dari Planetarium Jakarta, Widya Sawitar di National Geographic Indonesia edisi Juli 2019. (National Geographic Indonesia)

Pada 1619, ketika Batavia dibangun di atas puing-puing Kota Jayakarta, nun jauh di Linz, Austria, Johannes Kepler (1571–1630) merilis ikhtisarnya yang ketiga tentang periode revolusi di setiap planet yang mengelilingi Matahari. Teori itu diterbitkan dalam bukunya yang bertajuk Harmonice Mundi yang bermakna Keharmonisan Dunia.

Apa yang bisa kita petik dari peringatan ini?

Pada awal abad ke-20, Profesor Max Caspar, yang dikenal sebagai ilmuwan yang paling memahami alam pikiran Johannes Kepler, merilis buku bertajuk Kepler. Ada pendapat dari sang Profesor itu yang masih menarik untuk kita renungkan.

"Intoleransi keagamaan sangat memuakkan bagi Kepler, yang yakin bahwa keharmonisan di antara planet-planet seharusnya terdapat juga di antara umat manusia."

Tahun ini pula kita merayakan ulang tahun International Astronomical Union yang ke-100. Kita pun mengenang 100 tahun pemotretan pertama gerhana Matahari total di Afrika barat. Namun, kita sendiri juga memiliki perayaan penting: 50 tahun Planetarium dan Observatorium Jakarta.

Baca juga: Dari Editor April 2019: Tantangan Menemukan Kembali Jiwa Kota