28 Ribu Spesies Dunia Terancam Punah, Peneliti: Jumlahnya Mungkin Bertambah

By National Geographic Indonesia, Rabu, 24 Juli 2019 | 11:49 WIB
Ilustrasi spesies di Bumi. (JackF/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Organisasi internasional untuk konservasi alam, International Union for Conservation of Nature (IUCN) kembali mengeluarkan daftar terbaru spesies yang terancam punah di seluruh dunia pada Kamis minggu lalu.

Daftar tersebut, populer sebagai IUCN Red List daftar merah IUCN, menilai risiko kepunahan 106.000 spesies dan menemukan lebih dari 28.000 di seluruh dunia terancam.

Pemberitaan sebelumnya memperkirakan 1 juta spesies mengalami kepunahan, namun daftar yang dikeluarkan oleh IUCN berdasarkan pada kriteria ketat yang menilai masing-masing spesies. Daftar tersebut juga menjadi standar dunia untuk mengetahui risiko kepunahan keanekaragaman hayati.

Baca Juga: Unik, Tardigrada dengan Perut Berpendar Ditemukan di Spanyol

Dalam daftar terbaru, sebanyak 105.732 spesies dikategorikan memiliki risiko kepunahan yang rendah (least concern), kritis (critically endangered), hingga punah (extinct)

Hal ini jelas bukan berita bagus. Daftar tersebut menemukan setidaknya 27% dari jumlah spesies atau sekitar 28.338 spesies mengalami risiko kepunahan, dan dapat disimpulkan terdapat 873 spesies punah sejak tahun 1500.

Angka ini mungkin tampak kecil dibandingkan prediksi 1 juta spesies yang berisiko mengalami kepunahan, namun daftar IUCN hanya mencakup 1% dari hewan, fungi, dan tanaman di dunia. Ketika semakin banyak spesies yang diikutsertakan, maka jumlah yang terancam tidak diragukan lagi akan meningkat.

Keterancaman pari dan hiu

Saya memimpin penilaian risiko kepunahan pada hiu dan pari untuk IUCN. Yang menjadi perhatian khusus dalam daftar terbaru ini adalah kondisi buruk beberapa ikan yang unik dan aneh, seperti ikan sejenis hiu pari, yaitu wedgefishes dari famili Rhinidae dan giant guitarfishes dari famili Glaucostegidae. Kedua famili ini secara kolektif dikenal sebagai “rhino ray”.

15 dari 16 spesies pari yang mirip hiu ini yang tersebar dari Australia hingga Atlantik Timur masuk ke dalam kritis critically endangered atau satu langkah lagi menuju kepunahan.

Jumlah populasi hiu pari masih relatif banyak di Australia, ketimbang di kawasan Indo-Pasifik (yang mencakup Samudera Hindia dan Samudera Pasifik) dan Atlantik bagian timur.

Sama dengan hiu dan pari lainnya, kelompok rhino ray menjadi sasaran eksploitasi akibat permintaan atas daging dan sirip mereka yang dikonsumsi dan diperdagangkan. Sirip putih dari rhino rays sangatlah mahal dan bisa mencapai hampir US$1.000 atau Rp14 juta per kilogram.

Penangkapan rhino ray untuk bagian tubuhnya membuatnya mirip dengan badak (rhinoceros), tidak hanya kemiripan nama, tetapi juga kondisi kepunahannya.

Selain wedgefish dan giant guitarfish, dua spesies dari kelompok pari yang mirip hiu lainnya yang juga hampir punah, adalah clown wedgefish (Rhynchobatus cooki) dari Indo-Melayu yang hanya terlihat sekali dalam lebih dari 20 tahun yaitu ketika seorang peneliti lokal memotret spesimen mati di pasar ikan Singapura.

Berikutnya adalah false shark ray (Rhynchorhina mauritaniensis) yang diketahui hanya berasal dari satu lokasi, di Mauritania, Afrika Barat, dan belum terlihat lagi keberadaannya sampai kini.

Peningkatan aktivitas perikanan diduga memberikan dampak terhadap keberadaan ikan tersebut. Jumlah kapal nelayan kecil di Mauritania sendiri meningkat dari 125 pada 1950 menjadi hampir 4.000 pada 2005.

Hal ini juga terjadi di negara tropis lainnya di Indo-Pasifik Barat, tempat sebagian besar ikan-ikan tersebut ditemukan.

Baca Juga: Hewan Laut Mampu Serap Karbon, Bisakah Mengatasi Perubahan Iklim?

Indonesia merupakan negara yang paling banyak menangkap hiu dan pari di dunia. Data menunjukkan adanya 88% penurunan tangkapan dalam 10 tahun. Spesies ini ditangkap secara berlebihan di Indonesia sehingga pemerintah Indonesia perlu melindungi mereka sebelum mereka benar-benar punah.

Perlindungan yang efektif bagi spesies yang terancam punah meliputi upaya perlindungan spesies secara nasional, tata kelola habitat, pengurangan tangkapan dan pembatasan perdagangan internasional untuk spesies tersebut.

Tidak akan ada solusi yang cepat dan mudah, semua tergantung kepada tindakan yang efektif.

Tantangan untuk menyelamatkan spesies ini menggambarkan tugas yang lebih besar dalam mengatasi krisis kepunahan yang sekarang sedang kita hadapi. Tidak berbuat apa-apa akan berujung kepada semakin hilangnya keanekaragaman hayati dan akhirnya kehancuran ekosistem tempat manusia bergantung.