Nationalgeographic.co.id - Kita memerlukan inovasi untuk mengurangi risiko akibat terjadinya perubahan iklim. Salah satunya yang memungkinkan dan berbiaya rendah adalah dengan mengenali dan melindungi hal-hal yang dapat menyerap karbon, seperti hutan dan tanah basah.
Kedua ekosistem tersebut bahkan sudah dimasukkan ke dalam strategi untuk mengatasi perubahan iklim oleh 28 negara sebagai bagian pemenuhan komitmen Perjanjian Iklim Paris. Sayangnya, belum ada kebijakan serupa untuk sektor kelautan, yang justru merupakan penyerap karbon terbesar dan elemen utama dalam siklus iklim Bumi.
Penelitian saya sebagai ahli biologi kelautan fokus kepada perilaku mamalia laut, ekologi, dan tindakan konservasi, namun saat ini, saya sedang mempelajari bagaimana perubahan iklim mempengaruhi mamalia laut dan bagaimana kehidupan laut bisa menjadi bagian dari solusi.
Hewan laut dapat menyerap karbon melalui berbagai proses alami, mulai dari menyimpan karbon dalam tubuh, mengeluarkan kotoran yang kaya dengan karbon ke lautan dalam, hingga menyuburkan dan melindungi fauna laut. Para peneliti pun mulai menyadari bahwa hewan bertulang belakang (vertebrata), contohnya ikan, burung laut, dan mamalia laut, memiliki potensi untuk menahan lepasnya karbon ke atmosfer.
Saat ini, saya bersama rekan-rekan di UN Environment / GRID-Arendal, sebuah lembaga PBB untuk isu lingkungan yang berpusat Norwegia, sedang bekerja untuk mengidentifikasi mekanisme yang mungkin dapat membantu mengatasi perubahan iklim melalui proses biologis alami vertebrata. Sejauh ini, kami telah menemukan setidaknya sembilan contoh.
Salah satu contoh favorit saya adalah Trophic Cascade Carbon, yaitu sebuah mekanisme terjadinya perubahan di bagian atas rantai makanan yang akan berdampak pada keseluruhan rantai makanan.
Sebagai contoh, berang-berang di Pasifik Utara adalah pemakan bulu babi yang mengkonsumsi rumput laut. Sementara, rumput laut memegang peranan penting sebagai penyimpan karbon. Apabila jumlah berang-berang meningkat, maka populasi bulu babi akan berkurang, maka hal ini memungkinkan hutan rumput laut tumbuh subur dan akhirnya bisa menangkap lebih banyak karbon.
Karbon yang tersimpan dalam organisme hidup, disebut karbon biomassa, dapat ditemukan pada semua vertebrata laut. Hewan besar seperti paus, yang memiliki berat hingga 50 ton dan hidup selama lebih dari 200 tahun, dapat menyimpan karbon dalam jumlah besar untuk jangka waktu yang lama.
Ketika mereka mati, bangkai mereka pun tenggelam ke dasar laut, dan membawa karbon biomassa yang terperangkap seumur hidup bersama mereka. Proses ini disebut deadfall carbon (karbon mati). Karbon tersebut akan terkubur dalam sedimen dan terkunci selama jutaan tahun.
Lebih lanjut, peran paus dalam menyerap karbon, salah satunya, melalui proses yang dikenal para ilmuwan sebagai Whale Pump, yaitu proses paus mengeluarkan kotoran yang bernutrisi tinggi, seperti urea, ke lautan. Kotoran dengan nutrisi tinggi ini dapat merangsang pertumbuhan fitoplankton, organisme kecil yang memiliki peran dalam menangkap karbon.
Paus berjasa dalam mendistribusikan kotorannya, yang menjadi makanan bagi fitoplankton, dari daerah yang tinggi ke daerah yang lebih rendah dan minim nutrisi di lautan. Proses ini disebut sebagai Great Whale Conveyor Belt.
Para peneliti juga mengidentifikasi peran paus dalam mencampurkan nutrisi di permukaan laut, atau biomixing carbon, yang terjadi saat paus berenang dan muncul ke permukaan. Dengan demikian, nutrisi yang dibawa paus dapat mencapai fitoplankton yang terdapat di permukaan laut.
Namun, tidak hanya paus, kotoran dari jenis ikan yang lain juga berperan dalam memerangkap karbon. Beberapa jenis ikan akan muncul ke permukaan laut untuk makan di malam hari dan turun hingga mencapai kedalaman lebih dari 1.000 kaki di siang hari untuk mengeluarkan kotoran yang kaya akan karbon. Para ilmuwan menyebutnya sebagai Twilight Zone Carbon, yang bisa menahan karbon puluhan hingga ratusan tahun lamanya.
Salah satu studi yang pertama dilakukan untuk mengukur potensi vertebrata laut sebagai penyerap karbon diterbitkan pada tahun 2010. Studi tersebut menggambarkan proses whale pump di Samudra Selatan yang memperkirakan bahwa populasi bisa mencapai puncaknya yaitu sekitar 120.0000 paus sperma sebelum era perburuan paus dimulai. Populasi tersebut dapat menangkap sekitar 2,2 juta ton karbon per tahun melalui kotorannya.
Studi lainnya di tahun yang sama menghitung sekitar 2,5 juta paus menahan hampir 210.000 ton karbon mati (deadfall carbon) per tahun ke lautan dalam. Jumlah tersebut setara dengan menarik sekitar 150.000 mobil dari jalanan setiap tahunnya.
Sementara, studi yang terbit tahun 2012 menyebutkan bahwa dengan memakan bulu babi, berang-berang laut berpotensi memerangkap 150.000 hingga 22 juta ton karbon per tahun di hutan rumput laut.
Potensi lainnya juga ditunjukkan oleh ikan lentera dan ikan twilight zone di pantai barat Amerika Serikat. Berdasarkan studi di tahun 2013, kedua ikan tersebut dapat menyimpan lebih dari 30 juta ton karbon per tahun dalam pelet tinja mereka.
Pemahaman ilmiah tentang karbon vertebrata laut masih dalam masa awal. Sebagian besar mekanisme yang berhasil kami identifikasi didasarkan pada studi yang terbatas dan perlu penelitian lebih lanjut. Hingga kini, para ilmuwan baru berhasil meneliti kurang dari 1% dari semua spesies vertebrata laut yang dianggap memiliki peran sebagai penyerap karbon.
Pemerintah dan organisasi di seluruh dunia berupaya memulihkan stok ikan global, mencegah tangkapan yang tidak sengaja maupun ilegal, mengurangi polusi hingga membangun kawasan perlindungan laut. Apabila kita bisa mengetahui nilai karbon dari vertebrata laut, maka kebijakan yang disebutkan tergolong sebagai strategi mitigasi perubahan iklim.
Oleh sebab itu, Komisi Penangkapan Ikan Paus Internasional telah mengeluarkan dua resolusi pada tahun 2018 yang mengakui peran paus sebagai penyerap karbon.
Seiring kemajuan ilmu pengetahuan, melindungi cadangan karbon dari vertebrata laut mungkin bisa menjadi bagian dari Perjanjian Paris. Melindungi mereka akan membantu memastikan bahwa lautan dapat terus memberi manusia makanan, oksigen, rekreasi dan keindahan alam, membantu menyerap karbon.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR