Warga Belanda dan Indonesia Bersama Memperingati Berakhirnya Perang Dunia Kedua

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 24 Agustus 2019 | 22:50 WIB
Ereveld Menteng Pulo, satu dari tujuh taman makam kehormatan Belanda di Pulau Jawa. Terdapat 4.300 korban perang dari kamp-kamp Jepang dan militer Belanda yang tewas pada periode 1942-1949. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id— Robbert van de Rijdt tampak rapi dengan jas gelap dan dasi jingganya. Dia  menyambut saya di teras Simultaankerk. Kami pun berbincang sejenak di dalam gereja, yang menjadi tengara Ereveld Menteng Pulo.

Lelaki itu adalah Direktur Oorlogsgravenstichting Indonesie, sebuah institusi nirlaba di Belanda yang mengelola permakaman korban-korban perang, selama enam tahun terakhir. Sebelumnya dia bertugas di Koninklijke Marine, angkatan laut Kerajaan Belanda.

Sore itu Oorlogsgravensticting Indonesia dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta menggelar peringatan bertajuk Herdenking Einde Wereldoorlog II Zuidoost-Azië, peringatan berakhirnya Perang Dunia Kedua di Asia Tenggara.

Di Indonesia terdapat tujuh taman kehormatan—sebutan untuk taman permakaman korban perang—yakni Ereveld Menteng Pulo dan Ereveld Ancol di Jakarta, Ereveld Pandu di Kota Bandung, Ereveld Leuwigajah di Cimahi, Ereveld Candi dan Ereveld Kalibanteng di Semarang, dan Ereveld Kembang Kuning di Surabaya. Setiap taman kehormatan itu memiliki tema sejarah berikut monumen yang dibangun. Namun, Ereveld Menteng Pulo-lah yang tampaknya lebih sohor—mungkin karena berlokasi di tengah Metropolitan Jakarta.

Baca juga: Suasana Ketika Hindia Belanda Sekarat

Di Simultaankerk, Robbert van de Rijdt memberikan kata sambutan pada Peringatan Berakhirnya Perang Dunia Kedua di Asia Tenggara pada 15 Agustus 2019. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

“Inilah Columbarium,” kata Robbert sembari mengajak saya menyusuri sebuah lorong terbuka di samping Simultaankerk. “Ada 754 pasu yang berisi abu jenazah orang-orang Belanda. Mereka tawanan perang Jepang yang wafat di Jepang,” imbuhnya. “Di setiap pasu ini ada nama, tanggal kelahiran dan kematiannya, yang disusun secara alfabet.”

Beberapa pasu tersemat bunga, sebagai tanda ada kerabat yang menziarahinya beberapa waktu lalu. Kami melewati lorong Columbarium yang berhias deretan pasu, lalu berhenti di sudut pertemuan dengan lorong terbuka lainnya. “Di sudut ini terdapat monumen kecil untuk penghormatan kepada tentara yang tak dikenal,” ujar Robbert.

Kami menyaksikan kaca patri yang menggambarkan sosok lelaki bertelanjang dada karya C. Stauthamer, yang dibuat pada 1949. Sosok lelaki Indonesia dengan ikat kepalanya yang khas dan sosok lelaki Belanda.

Lorong Columbarium. Robbert van de Rijdt, selaku Direktur Oorlogsgravenstichting Indonesia, mendampingi Rob Swartbol, Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

“Anda bisa lihat dua lelaki yang tersenyum di kaca patri jendela. Keduanya berdiri bersama sebagai kawan ini mengisahkan tentang persahabatan antara Belanda dan Indonesia,” ujar Robbert. Lalu dia menambahkan sembari tersenyum, “Jadi sejak 1949 sejatinya kita sudah menjadi sahabat baik.”

“Anda bisa lihat ke arah menara di sana,” ujar Robbert sembari menunjuk menara Simultaankerk. “Anda lihat beragam simbol-simbol agama ada di sana.” Tampaknya kebinekaan itulah yang menjadikan gereja itu bernama “simultaan” yang bermakna “bersama-sama”. Penyebutan itu juga mengacu pada mereka yang dimakamkan di sini terdiri atas beragam agama—Muslim, Kristen, Katholik, Yahudi, Buddha hingga Konghucu.

Kami berjalan kaki di tengah salib-salib korban perang, yang berjumlah lebih dari 4.300. Menurut Robbert, 80 persennya adalah warga sipil. Mereka yang dimakamkan di sini tidak hanya orang-orang Belanda, tetapi juga orang-orang Indonesia yang berdinas di Koninklijke Nederlands-Indische Leger, atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Baca juga: Kisah Petaka Rombongan Pemusik Belanda dalam Monumen Padalarang

Sersan Mayor Surono dan Sersan Mayor Agus Irianto dari Korps Musik Mabes TNI-AL menjadi bagian dalam upacara Peringatan Berakhirnya Perang Dunia Kedua di Asia Tenggara, yang berlokasi di Ereveld Menteng Pulo. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Saya berkata kepada Robbert bahwa kakek buyut saya pernah bertugas sebagai tentara KNIL di tangsi militer Purworejo pada 1930-an. Namun, nasib kakek buyut saya tidak pernah diketahui lagi setelah sebuah peristiwa penculikan pada akhir 1940-an.

“Coba cari di sini,” ujar Robbert seraya mengeluarkan gawai cerdas dari saku jasnya. “Silakan ketik namanya. Mungkin ia dimakamkan di sini.”

Saya berbesar hati mengetik nama kakek buyut di mesin peramban Oorlogsgravenstichting: “Sikin Soemojitno”. Sayangnya, mesin peramban itu tidak menemukan nama yang dimaksud.

Pukul lima tepat acara peringatan ini dimulai di dalam Simultaankerk. Para peziarah duduk di bangku-bangku yang berderet. Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia, Rob Swartbol, berada di tengah mereka.

Di sisi samping podium tampak salib yang terbuat dari kayu-kayu bantalan rel kereta api di Birma, yang mempekerjakan para romusha dari tawanan perang asal Belanda, Australia, Inggris, dan Amerika. Setidaknya ada dua film yang mengusung latar sejarah ini, yakni The Railway Man (2013) dan film dokumenter Siam-Burma Death Railway (2014).

Petugas dari Oorlogsgravenstichting Indonesie bersiap jelang acara peringatan berakhirnya Perang Dunia Kedua. Tampak empat karangan bunga dari Kerajaan Belanda, Kementerian Pertahanan Belanda, Stichting Nationale Herdenking 15 Augustus 1945, dan Oorlogsgravenstichting. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

“Setiap 15 Agustus,” demikian Robbert membuka pidatonya, “Belanda memperingati semua orang yang gugur sebagai korban Perang Dunia Kedua di Asia Tenggara.”

Dia menceritakan kembali tentang merembetnya Perang Asia Timur Raya ke kawasan yang dahulunya bernama Hindia Belanda. Akhirnya, pada 1942 tentara Jepang menyerbu kawasan ini. Ribuan pria, wanita, dan anak-anak Belanda terbunuh atau menghuni di kamp-kamp tawanan perang Jepang. “Lebih dari 13.000 orang tidak selamat dari kamp-kamp itu,” ungkapnya.

Menurutnya, periode Perang Dunia Kedua merupakan tahun-tahun penuh rasa takut, ancaman dan ketidakpastian. Mereka yang dulunya berdinas di militer Belanda dijadikan tawanan perang, kemudian dibawa ke lokasi pertambangan di Jepang atau dikerahkan sebagai tenaga kerja paksa pada pembangunan jalur rel kereta api di Sumatra, Burma dan Siam.

Seorang anak lelaki menyematkan bunga dan bendera Belanda di salah satu salib makam di Ereveld Menteng Pulo. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

“Akibat dari perlakuan tersebut sekitar 9.000 anggota militer meninggal. Banyak korban perang tersebut dimakamkan di tujuh Taman Kehormatan Belanda (ereveld) di Pulau Jawa.” Robbert menambahkan, “Selain orang Belanda, tentara Jepang juga mempekerjakan jutaan orang Indonesia sebagai romusha pada pembangunan jalur kereta api dan proyek-proyek lainnya.”

Setelah tiga setengah tahun penjajahan Jepang, pada Rabu, 15 Agustus 1945 berakhirlah Perang Dunia Kedua di Asia Tenggara. “Peristiwa inilah yang kami peringati setiap tahun untuk mengenang semua orang yang gugur pada Perang Dunia Kedua,” ujarnya. “Merupakan hal yang indah melihat Belanda dan Indonesia kini bersama-sama bisa melakukan peringatan ini.”

Robbert memang tidak mengisahkan secara detail tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada tanggal tersebut. Namun, apabila kita membuka kembali buku sejarah dunia, kita akan menjumpai pada hari itulah Kaisar Hirohito mengumumkan Siaran Suara Kaisar yang berisi penerimaan Jepang atas Deklarasi Postdam. Pokok dalam deklarasi yang dihimpun oleh Presiden Amerika Serikat, Perdana Menteri Inggris, dan Presiden yang sekaligus Panglima Tertinggi Tiongkok adalah mendesak pemerintah Jepang untuk menyerah tanpa syarat. Perang Dunia Kedua di kawasan Asia-Pasifik akhirnya dinyatakan usai pada hari itu.

Baca juga: Penuturan Dua Penyintas: Bagaiamana Cara Mandi dan Makan di Kamp Tawanan Jepang?

Seorang perempuan Indonesia tengah berdoa di depan pusara kerabatnya, tampaknya berasal dari Ambon, di Ereveld Menteng Pulo. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Seorang petugas Oorlogsgravenstichting berseragam cokelat mendentangkan lonceng berkali-kali yang berada di pekarangan depan gereja. Gema dentangannya menuntun para peziarah menuju Vlaggenmonument atau monumen bendera, yang menjadi tempat utama peringatan ini.

Terompet mengalun syahdu sekaligus menyayat kalbu dalam naungan bendera triwarna setengah tiang. Alat tiup itu dibawakan oleh Sersan Mayor Surono dan Sersan Mayor Agus Irianto dari Korps Musik Mabes TNI-AL.

Dalam sesi selanjutnya, empat karangan bunga diantar ke monumen bendera. Karangan bunga berwarna jingga dari Kerajaan Belanda, sementara tiga karangan bunga berwarna putih masing-masing berasal dari Kementerian Pertahanan Belanda, Stichting Nationale Herdenking 15 Augustus 1945, dan Oorlogsgravenstichting.

Alunan terompet kembali mengalun, lalu diikuti suasana senyap dan takzim selama satu menit. Puncak acara ditandai dengan pengibaran bendera triwarna penuh, yang diiringi musik kebangsaan Belanda, Wilhelmus. Semua peziarah dengan khidmat mengikuti prosesi. Acara terakhir adalah penyematan bunga di makam-makam korban perang itu.

Beberapa tahun belakangan, kian banyak warga Indonesia yang berminat menghadiri peringatan ini. Pemahaman publik yang lebih baik tentang sejarah hubungan dua negara ini tampaknya telah memicu keingintahuan warga Indonesia tentang hubungan sejarah antara orang Belanda dan orang Indonesia. Menurut catatan Oorlogsgravenstichting, pada 2013 hanya ada 5.000 pengunjung taman-taman kehormatan seantero Jawa, sedangkan pada 2018 terdapat lebih dari 16.000 pengunjung, yang sebagian besar adalah anak-anak muda Indonesia.

“Semakin banyak orang di Indonesia yang merasa bahwa memperingati bersama dan mempelajari sejarah bersama itu penting,” kata Robbert. “Hal ini dapat terlihat dari meningkatnya pengunjung Indonesia ke tujuh ereveld di Pulau Jawa.”

November silam, saya dan Robbert berkesempatan melakukan prosesi ziarah di Taman Makam Pahlawan di Ngagel, Surabaya. Kami bersama komunitas sejarah Roodebrug Soerabaia menyematkan bunga di setiap nisan pahlawan tak dikenal di permakaman itu.

Baca juga: Sepenggal Kisah Monumen Divisi Tujuh Desember di Jantung Jakarta

Pusara Jenderal Simon Hendrik Spoor (12 Januari 1902 - 25 Mei 1949). Sang Jenderal meresmikan Ereveld Menteng Pulo pada 8 Desember 1947. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Pendar jingga matahari sore kian meredup. Saya berjumpa sekelompok ibu asal Ambon yang tinggal di Jakarta. Mereka menyematkan bunga di bawah salib kakek mereka. Salah satunya berkata kepada saya bahwa mereka sedang menghimpun komunitas keluarga KNIL di Indonesia. Saya pikir keluarga tadi cukup beruntung karena dari sekian ribu korban perang yang hilang, kakek mereka bersemayam di taman kehormatan ini.

Saat melangkah kaki untuk pulang, saya membayangkan andai kakek buyut saya juga dimakamkan di taman kehormatan ini. Namun, saya teringat tentang kalimat berbahasa Belanda yang saya jumpai di Ereveld Menteng Pulo. Kira-kira maknanya begini, “Untuk mengenang penuh hormat bagi orang-orang yang tidak disebutkan nama mereka yang mengorbankan hidup dan tidak beristirahat di taman-taman kehormatan."

Di sinilah, sebuah tempat hening yang menautkan sejarah antara kita dan mereka. Sebagian orang menganggap sejarah belum selesai, sebagian orang mencoba berdamai dengan sejarah mereka, dan sebagian lagi menganggap sejarah itu sudah selesai. Kendati demikian, semuanya harus memiliki visi masa depan kemanusiaan supaya bencana perang tak perlu terulang.