Nationalgeographic.co.id— "Saya telah mendaftar untuk Expeditionaire Macht, berarti saya akan bertugas untuk jangka waktu yang tak diketahui, di mana pun saya diperlukan,” tulis Chris Fillet di buku hariannya. “Awalnya kami menerima pelatihan untuk perang melawan Jepang, tetapi ketika mereka sudah menyerah, tujuan kami pun berubah ke Hindia Belanda."
Chris merupakan pemuda kurus yang tumbuh di permukiman Yahudi di Amsterdam, Belanda. Pada 2 Januari 1946, namanya telah terdaftar dalam kesatuan “7 December Divisie” (Divisi Tujuh Desember). Misi utama mereka memulihkan perdamaian, ketertiban dan keamanan di Indonesia yang baru saja merdeka.
“Gendang telinga kiri saya rusak oleh sebuah granat yang meledak tepat di sebelah,” tulis Chris mengenang sebuah kecelakaan dalam sesi latihan di Inggris.
Buku hariannya yang dirilis di laman www.zevendecemberdivisie.nl mengungkapkan bahwa saat itu usianya belum genap 19 tahun. Pelatihan wajib militer selama enam bulan pun dilaluinya di Colchester, Inggris. “Gendang telinga kiri saya rusak oleh sebuah granat yang meledak tepat di sebelah,” tulis Chris mengenang sebuah kecelakaan dalam sesi latihan di Inggris. Karena khawatir ditolak, dia sengaja tidak pergi ke dokter. Beruntung hanya telinga kirinya yang bermasalah, sehingga dia tetap melanjutkan wajib militernya.
Baca juga: John Verbeek Menyingkap Coretan dan Bungker Militer Belanda di Cisauk
Chris menjadi salah satu dari ribuan orang sukarelawan yang dikirim pada gelombang pertama ke Hindia Belanda dalam kesatuan tersebut. Mereka berlayar meninggalkan Rotterdam pada 2 Mei 1947 menuju Hindia Belanda. “Sebuah negara dengan pulau-pulau berserak: ‘Sumatera-Jawa-Bali-Lombok-Sumbawa-Flores-Sumba-Timor’ yang hanya saya peroleh di sekolah,” ungkap Chris.
Nama “Tujuh Desember” terinspirasi dari pidato Ratu Wilhelmina di London pada 7 Desember 1942. Empat tahun berselang, pidato tersebut manjadi mandat yang diberikan kepada Divisi Tujuh Desember.
Divisi ini memegang teguh tujuan untuk memberikan kemerdekaan negara-negara jajahan dan menghapuskan diskriminasi ras sehingga semua warga negara punya hak yang sama dalam naungan Kerajaan Belanda.
Kelak kesatuan ini terlibat dalam dua aksi polisional: Operatie Product (20 Juli hingga 5 Agustus 1947) dan Operatie Kraai 1948 (19-20 Desember 1948). Demikianlah pihak Belanda menyebut sandi dalam agresi militer pertama kedua di wilayah Indonesia.
Jumlah personel Divisi Tujuh Desember adalah 18.544 serdadu. Terdiri atas 880 perwira tinggi, 1.300 perwira menengah dan 16.364 serdadu bintara. Panglima Divisi Tujuh Desember adalan Mayor Jenderal H.J.J.W. Dürst Britt (1 September 1946 – 2 September 1949). Kemudian panglima penggantinya, Mayor Jenderal E. Engles (2 September 1949 – 25 April 1950).
Chris dan para serdadu Divisi Tujuh Desember lainnya berseragam warna zaitun gelap. Mereka dapat dikenali dari emblem yang dikenakannya. Divisi ini menggunakan emblem berwarna dasar merah dengan aksara “E” dan “M” yang mengapit pedang, krans daun laurel, berikut pita kuningnya. Aksara "E” dan “M" mengacu pada "Expeditionaire Macht" (Pasukan Ekspedisi). Aksara ini juga menjadi kependekan dari jargon wajib militer saat itu "Elke Man, Elk Momen" (Setiap Orang, Setiap Saat).
Baca juga: Suasana Ketika Hindia Belanda Sekarat
Chris bertugas dalam Departemen Teknik ketika terlibat dalam agresi militer pertama di Pematangsiantar pada Juli 1947 dan agresi militer kedua di Sibolga pada 1948.
Dia menyaksikan betapa rakyat Hindia Belanda telah berubah perangainya. “Penduduk dalam kapasitas membenci Belanda,” ungkapnya. “Mereka terkesan ramah di depan Anda. Namun, segera setelah Anda pergi, mereka meludah ke tanah.”
“Perjalanan yang berbahaya,” tulis Chris. “Jembatan dirusak atau dihancurkan, atau dibakar. Penembak jitu ada di sepanjang jalan.” Daerah yang dikuasai pasukan Divisi Tujuh Desember adalah pegunungan di Sumatra Utara dengan jalan-jalan yang sangat sempit. “Anda tidak pernah tahu siapa atau apa yang menunggu Anda di tikungan berikutnya.”
Gelombang pertama Divisi Tujuh Desember yang meninggalkan Indonesia dimulai pada akhir 1949. Kemudian diikuti gelombang berikutnya hingga awal 1950. Chris termasuk dalam gelombang pertama. Dia bersyukur bisa kembali berjejak ke kampung halaman. Suatu berkah yang tidak semua serdadu bisa menikmatinya. “Kembali ke kehidupan normal itu sulit.”
Monumen Divisi Tujuh Desember didirikan di Taman Makam Kehormatan Ereveld Mentengpulo, Jakarta Selatan. Dalam kesatuan tersebut, sekitar 600 lebih serdadu yang tewas selama periode 1947-1949 dimakamkan di hamparan rerumputan menghijau di belakang Gereja Simultaantkerk. Salib putih mereka bertanda “7DD”—7 December Divisie.
Monumen tersebut berbentuk tugu dengan lambang Divisi Tujuh Desember. Sebuah kalimat menghias di latar belakangnya: “Onze eenheid is bevestigd door ons gezamenlijk lijden”—Kesatuan kami diteguhkan dalam penderitaan bersama. Di sinilah, sebuah tempat hening yang menautkan sejarah antara kita dan mereka.
Baca juga: Kisah Petaka Rombongan Pemusik Belanda dalam Monumen Padalarang
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR