Baca juga: Suasana Ketika Hindia Belanda Sekarat
Chris bertugas dalam Departemen Teknik ketika terlibat dalam agresi militer pertama di Pematangsiantar pada Juli 1947 dan agresi militer kedua di Sibolga pada 1948.
Dia menyaksikan betapa rakyat Hindia Belanda telah berubah perangainya. “Penduduk dalam kapasitas membenci Belanda,” ungkapnya. “Mereka terkesan ramah di depan Anda. Namun, segera setelah Anda pergi, mereka meludah ke tanah.”
“Perjalanan yang berbahaya,” tulis Chris. “Jembatan dirusak atau dihancurkan, atau dibakar. Penembak jitu ada di sepanjang jalan.” Daerah yang dikuasai pasukan Divisi Tujuh Desember adalah pegunungan di Sumatra Utara dengan jalan-jalan yang sangat sempit. “Anda tidak pernah tahu siapa atau apa yang menunggu Anda di tikungan berikutnya.”
Gelombang pertama Divisi Tujuh Desember yang meninggalkan Indonesia dimulai pada akhir 1949. Kemudian diikuti gelombang berikutnya hingga awal 1950. Chris termasuk dalam gelombang pertama. Dia bersyukur bisa kembali berjejak ke kampung halaman. Suatu berkah yang tidak semua serdadu bisa menikmatinya. “Kembali ke kehidupan normal itu sulit.”
Monumen Divisi Tujuh Desember didirikan di Taman Makam Kehormatan Ereveld Mentengpulo, Jakarta Selatan. Dalam kesatuan tersebut, sekitar 600 lebih serdadu yang tewas selama periode 1947-1949 dimakamkan di hamparan rerumputan menghijau di belakang Gereja Simultaantkerk. Salib putih mereka bertanda “7DD”—7 December Divisie.
Monumen tersebut berbentuk tugu dengan lambang Divisi Tujuh Desember. Sebuah kalimat menghias di latar belakangnya: “Onze eenheid is bevestigd door ons gezamenlijk lijden”—Kesatuan kami diteguhkan dalam penderitaan bersama. Di sinilah, sebuah tempat hening yang menautkan sejarah antara kita dan mereka.
Baca juga: Kisah Petaka Rombongan Pemusik Belanda dalam Monumen Padalarang
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR