Keringat membasahi wajah John Verbeek tatkala dia mengarahkan lampu senternya ke segala penjuru kamar yang kini dijadikan sebagai gudang nan lembap dan gelap itu. Lampu senternya tertuju pada coretan-coretan dari pensil di dinding bercat putih itu. Sambil menyeka keringat di dahi, dia tertegun pada sebuah infografis militer yang ditulis dengan rapi dan masih terlihat jelas: “Sinds 22-1-49 Buitgemaakte wapens en munite door I.V.D.-3-2 R.V.A, Tjisaoek.”
Verbeek, lelaki lima puluhan tahun yang selalu bersemangat ini adalah pemerhati bangunan pertahanan militer asal Den Haag, Belanda. Setidaknya lima ratus lokasi di Indonesia telah dia datangi untuk mendata sejarah tinggalan militer masa Hindia Belanda dan Jepang itu. Berdasar informasi dan arsip perpustakaan di Belanda, setiap tahun dia pergi menjelajah ke pelosok daerah di Indonesia.
“Tulisan ini dibuat pada awal 1949,” ungkap Verbeek sambil menunjuk judul tulisan dinding berbahasa Belanda, “ini menerangkan senjata dan amunisi yang berhasil dirampas oleh Resimen Artileri Medan Belanda dari tangan Republik.” Di bawah tulisan itu terdapat semacam kolom infografis yang menunjukkan senarai logistik militer seperti karbin, stengun atau senapan otomatis, revolver, tekidanto atau granat Jepang, mortir berbagai ukuran, granat tangan, dan peluru. Semuanya senjata-senjata dan amunisi itu dibuat ikonnya dengan rapi. “Tampaknya kamar ini digunakan sebagai pos komando militer.”
Baca juga: Suasana Ketika Hindia Belanda Sekarat
Tidak berlebihan apabila kamar pengap ini seolah mengantarkan Verbeek ke lorong waktu awal berdirinya Republik ini. Selagi mengamati keadaan kamar, dia menunjuk sederet lubang-lubang di dinding. “Ini adalah bekas tembakan!” ujarnya seraya menginvestigasi. “Nah, arahnya dari sebelah sana,” ungkapnya sambil mengarahkan senter ke jendela. Sejatinya apakah yang telah terjadi di kamar ini enam puluh tiga tahun lalu?
Verbeek masih memeriksa dinding itu dengan saksama. Dia membuka kaca matanya, lalu mendekatkan pengelihatannya ke coretan-coretan pensil lainnya. Lelaki ini mencoba menafsirkan apa saja yang telah ditulis tentara-tentara Belanda pada beberapa minggu setelah Agresi Militer II meletus. “Broodrantsoen!” ungkapnya pada sebuah tulisan berarti “Jatah Roti” itu.
Dari logistik ini bisa diketahui siapa saja yang terlibat dalam operasi militer di Cisauk ini. Sebuah senarai di bawahnya menjelaskan bahwa mereka tentara-tentara dari kesatuan KL (Koninklijke Landmacht atau Tentara Kerajaan) dan KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger atau Tentara Kerajaan Hindia-Belanda), serta dua kesatuan lainnya yang belum teridentifikasi.
Dia beralih ke dinding dekat jendela yang selamat dari berondongan tembakan. Pendaran lampu senternya menerangi sebuah tulisan ”Slotten” yang tampaknya menunjuk pada orang-orang kunci tokoh Republik.
Tulisan nama-nama itu sudah kabur, nyaris tak terlihat lagi. Namun, dia mencoba membacanya. Dari delapan nama hanya lima yang masih terbaca: Djaja, Hammam, Oedjang, Moechlis, M. Ishak, dan Soehada. Seluruh nama tadi bertanda coret dan dibelakangnya bertanda silang, kecuali Oedjang yang hanya diberi tanda tanya.
Siapa orang-orang itu masih misteri. Menurut Verbeek, mungkin kita bisa saja mengecek nama-nama ini di Taman Makam Pahlawan Seribu di Serpong. “Saya yakin nama-nama ini bukan pengkhianat Republik,” ungkap Verbeek.” Tidak mungkin nama para kolaborator ditulis di dinding.”
Kamar, yang berada dalam sebuah rumah bergaya Eropa-Cina tak terawat, itu terletak di pinggiran jalan berdebu Cisauk-Serpong, Tangerang Selatan. Lokasinya sangat strategis untuk markas komando militer karena tak jauh dari Stasiun Cisauk, bantaran barat Sungai Cisadane. Beranda depan yang awalnya terbuka, kini telah menjelma sebagai tempat usaha jahit yang dimiliki penyewa rumah itu. Meskipun demikian, empat pilar anggun dan lantai bercorak dekoratifnya masih diabadikan—entah sampai kapan—sebagai penanda zaman.
Sebelum senja meluntur, Verbeek telah berencana melakukan observasi ke dalam tempat perlindungan dari serangan udara di bawah tanah atau bungker. Letaknya di halaman samping rumah, lubang masuknya tepat di bawah jendela kamar tadi. Untuk memasuki ruangan perlindungan bawah tanah, dia harus melewati pintu utama yang hanya cukup satu orang. Lalu meniti beberapa anak tangga sampai ke dasar. Beberapa kelelawar yang merasa terganggu itu berputar-putar di dalam ruangan karena tamu tak diundang.
Sembari berjongkok memeragakan bagaimana biasanya orang-orang itu berlindung, dia berkata. “Ruangan ini cukup untuk duapuluh orang!” Ternyata ruangan dalam cukup lega dengan panjang sekitar enam meter. Langit-langitnya berbentuk lengkung setinggi dua meter sehingga orang bisa berdiri di dalamnya. Tempat perlindungan ini mempunyai jalan pintu keluar yang kini tembus di tempat parkir sebuah Klenteng Kwan Im Hud Cow. Tampaknya, saat rumah ini masih dihuni sebagai markas komando militer, halaman sampingnya masih berupa kebun.
Baca juga: Perjumpaan di Stasiun Kereta Listrik Pertama Hindia Belanda
Lalu mengapa Belanda masih melakukan operasi militernya di Cisauk pada 1949?
Awal 1948 telah disetujui perjanjian Indonesia dan Belanda di atas kapal USS Renville. Perjanjian itu menyatakan bahwa Belanda hanya mengakui sebagian wilayah Republik, yaitu Sumatra, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Artinya terdapat garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan Belanda. Sebagai konsekuensi garis demarkasi tersebut, tentara Republik harus ditarik mundur ke wilayah Republik.
Perselisihan mengenai wilayah-wilayah yang terbagi dalam demarkasi ini baru berakhir 27 Desember 1949. Bahwa Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat?tidak termasuk Nederlands Nieuw-Guinea. “Dalam garis demarkasi itu, Cisauk merupakan wilayah yang dikuasi Belanda,” pungkas Verbeek.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR