“Di satu sisi saya punya terlalu sedikit kecerdasan dan humor untuk membuat tulisan-tulisan saya lucu,” ungkap Ida Pfieffer merendah. “Dan, di sisi lain, pengetahuan saya terlalu sedikit untuk menilai kebenaran tentang apa yang sudah saya alami.”
Pada abad ke-19 dan juga sebelumnya, aktivitas menjelajah atau melancong bukan bagian dari kodrat perempuan. Namun, Ida merempuh pendapat puritan itu. Dia merupakan perempuan tomboi yang gemar melancong sendiri, mengarungi samudra sejauh 240.000 kilometer, dan 32.000 kilometer perjalanan darat di empat benua!
Soal gaya berbusana, Ida lebih menyukai celana pantalon lapangan yang dipadukan dengan gaun bawahan. Dia juga lebih menyukai bertelanjang kaki ketimbang harus bersepatu—apabila jalanan licin. Dia juga tidak seperti perempuan Eropa lain yang datang ke Hindia Belanda lantaran menemani suaminya yang seorang ilmuwan, pejabat pemerintah, atau misionaris.
Perempuan itu lahir di Wina, Austria, pada 14 Oktober 1779, dengan nama kecil Ida Laura Reyer. Nama Pfieffer ditambahkan setelah dia menikah kedua kalinya dengan seorang pengacara Mark Anton Pfieffer, yang 24 tahun lebih tua. Kehidupannya tidak bahagia, Ida harus membesarkan dan mendidik anak-anaknya seorang diri.
Ida Pfieffer telah ditahbiskan sebagai perempuan Eropa pertama yang seorang diri yang mengeitari jagad. Meskipun bukan seorang ilmuwan, selama perjalanan dia selalu mencari spesimen satwa, puspa, mineral, dan sesuatu yang berkaitan dengan etnografi. Ida tahu bagaimana melakukan menghimpun spesimen dan bagaimana cara mengawetkannya.
Ida bukanlah seorang kaya yang dengan mudah membiayai perjalanan. Untuk menutupi biaya perjalanan itu dia menerbitkan catatan perjalanannya dalam beberapa jilid buku, menjual ribuan koleksi spesimen kepada kolektor pribadi atau museum di Wina, atau mengharapkan budi baik penguasa setempat.
Pada 1836, Ida mengawali perjalanan pertama bersama anak lelakinya ke Triest, kota pelabuhan di timur laut Itali. Perjalanan ini tampaknya merupakan rencana impian masa kecilnya, yang juga memompa semangatnya untuk bertualang.
Namun, setelah anak-anaknya dewasa dan mempunyai rumah sendiri, Ida berencana untuk melancong ke tempat lebih jauh pada 1842. Dia menyusuri Sungai Danube hingga ke Laut Hitam, kemudian ke Istanbul hingga ke Palestina. Ketika itu usianya 45 tahun, dan dia lebih menyukai untuk melancong seorang diri. Dari Palestina dia menuju ke Mesir dengan menunggang kuda, lalu berlanjut ke Roma. Pengalaman pertama berkuda sangat membantunya kelak tatkala melancongi Hindia Belanda.
Ida Pfieffer telah ditahbiskan sebagai perempuan Eropa pertama yang seorang diri yang mengitari jagad.
Perjalanan itu tampaknya menarik perhatian penerbit di Wina. Sebuah buku pertamanya terbit dalam dua volume, Reise einer Wienerin in das Heilige Land (Perjalanan Seorang Perempuan Wina ke Tanah Suci) pada 1844. Dari pendapatan royalti buku, Ida dapat melanjutkan petualangannya menjelajahi Islandia dan Skandinavia pada tahun berikutnya. Cerita perjalanannya tentang dua kawasan itu muncul pada 1846, Reise nach dem skandinavischen Norden und der Insel Island im Jahre 1845.
Kemudian, perjalanannya untuk mengelilingi dunia pun dimulai. Hampir selama dua tahun, dia berkelana ke Brasilia, Chili, Tahiti, kemudian menyeberang ke Tiongkok, Singapura, Hindustan, Irak, Persia, dan Asia Minor.
Perjalanan keliling dunianya yang kedua bermula pada Maret 1851. Trip inilah yang membawanya dari London sampai berjejak di Hindia Belanda pada Desember tahun yang sama. Ida melancongi kepulauan Nusantara selama 18 bulan: singgah di kota-kota kawasan Borneo, Sumatra, Jawa, Sulawesi, Maluku, sampai Ambon. Kisah ini diterbitkan di Wina dalam empat volume pada 1856, Meine zweite Weltreise (Perjalanan Keduaku Keliling Dunia).
Ida melancongi Nusantara tatkala aliran modal swasta dan sistem tanam paksa tengah menggilas sumber daya pribumi. Soal negeri jajahan itu, sebagai seorang perempuan Eropa, dia punya pendapat menarik yang barangkali untuk kasus tertentu masih relevan dengan masa sekarang.
“Sebagai perempuan jelata dengan pengetahuan cekak, saya tidak berani menghakimi,” ungkap Ida. “Menurut pendapat saya, setiap tindakan pemaksaan adalah ketidakadilan, yang seharusnya tidak boleh dilakukan. [...] Saya meyakini bahwa sampai sekarang tidak ada pemerintahan yang merampas hak milik demi membahagiakan rakyatnya.”
Dalam catatan perjalanannya pula, Ida mengungkapkan kegemasannya dengan penjajahan. “Nasib orang-orang yang belum berada di bawah kekuasaan orang kulit putih itu lebih berbahagia,” ungkapnya. “Mereka mungkin harus menanggung penderitaan dan penindasan, tetapi pasti tidak ada yang lebih buruk daripada di bawah serakahnya orang Eropa.”
Ida wafat di kampung halamannya di Wina, pada 27 Oktober 1858, kemungkinan karena kangker atau malaria sepulang dari Madagaskar. Berita mangkatnya sang pelancong itu baru diwartakan The New York Time pada 20 hari kemudian. Sebuah catatan trip terakhirnya, Reise nach Madagaskar (Perjalanan ke Madagaskar) terbit dalam dua volume di Wina pada 1861.
“Mereka mungkin harus menanggung penderitaan dan penindasan, tetapi pasti tidak ada yang lebih buruk daripada di bawah serakahnya orang Eropa.”
Mary Somers Heidhues, ahli sejarah politik dari University of Göttingen, menyingkap kiprah pelancong ini dalam Woman on the Road : Ida Pfeiffer in the Indies, terbit di jurnal Archipel pada 2004. Menurutnya, di Hindia Belanda, buku catatan perjalanan Ida ke Sumatra tampaknya pertama kali diterbitkan pada 1877 dalam aksara Jawa, dan aksara Latin pada tahun berikutnya.
Kisah perjalanannya di Kalimantan tampaknya yang paling menarik karena sampai dicetak ulang hingga lima kali, selama 1880-an hingga 1906. Bahkan, Heidhues juga mengungkapkan, seorang penjelajah Borneo menemukan bahwa buku perjalanan Ida Pfieffer dalam bahasa Melayu telah menjadi salah satu buku bacaan anak-anak sekolah pada akhir 1940-an.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR