Nationalgeographic - Warga Pulau Komodo, yang jumlahnya sekitar 2.000 orang, boleh merasa lega mendengar pernyataan dari Menteri Pariwisata, Arief Yahya. Hari Rabu (18/9) di Yogyakarta, Arief mengatakan Pulau Komodo tidak akan ditutup.
"Sudah ada keputusan dari tim bahwa, pertama, Pulau Komodo tidak harus ditutup. Kedua, masyarakat di sana tidak harus dipindahkan. Tetapi ini masih keputusan Tim Terpadu (Timdu) yang dipimpin oleh setingkat Dirjen. Maka masih memerlukan penetapan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata Arief.
Baca Juga: Fakta Unik Komodo, Kanibal Hingga Suka Mencuri Bangkai di Pemakaman
Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laiskodat berulang kali menyampaikan rencana penutupan Pulau Komodo sejak akhir tahun lalu. Penutupan itu direncanakan selama satu tahun. Alasannya untuk memperbaiki ekosistem pulau tersebut. Jumlah komodo maupun mangsa alaminya, kata Viktor, diperkirakan menyusut.
Hanya saja, hingga hari ini belum ada keputusan dari Menteri LHK. Humas kementerian tersebut, Djati Wicaksono Hadi yang dikonfirmasi hanya mengatakan bahwa kewenangan ada di Menteri LHK selaku pemegang otoritas di bidang pengelolaan konservasi. Didesak lebih jauh apakah sudah ada keputusan pasti, Djati tidak memberi jawaban.
Padahal keputusan itu sangat ditunggu Menteri Pariwisata. Tanpa ada keputusan sampai saat ini, kata Arief, agen perjalanan wisata di seluruh dunia tidak berani menjual paket ke Pulau Komodo. Mereka tidak mau mengambil risiko menjual paket saat ini, jika ternyata keputusan pemerintah adalah mulai menutup awal tahun depan, misalnya. Kondisi yang menunggu ini, lanjut Arief, tidak bagus bagi sektor pariwisata
"Jadi tidak ada masalah ditutup tidak ditutup, tapi yang bagus adalah harus pasti. Tetapi sudah saya bocorkan ini hasil Timdu yang menyatakan, tidak perlu ditutup dan tidak perlu ada pemindahan warga masyarakat yang ada di Pulau Komodo,” tambah Arief.
Baca Juga: Berlibur ke Taman Nasional Komodo? Jangan Lewatkan 5 Destinasi Ini
Wacana Gubernur NTT Meresahkan
Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laiskodat berulangkali menyatakan ingin menutup Pulau Komodo selama satu tahun. Tidak hanya itu, masyarakat yang telah tinggal di sana juga rencananya akan dipindahkah. Bagaimana perkembangannya saat ini?
Ide itu bahkan kemudian berkembang menjadi pemindahan seluruh warga yang ada di Pulau Komodo. Tentu saja, ide tersebut ditentang oleh sekitar 2.000 penduduk di sana. Pekan lalu, puluhan di antaranya bahkan datang ke Jakarta untuk menggelar aksi demontrasi. Ihsan Abdul Amir adalah salah satunya.
“Saya baru dua hari yang lalu pulang dari Jakarta,” kata Ihsan.
Baca Juga: Mengapa Komodo Hanya Ditemukan di Indonesia? Ini Penjelasannya
Yang agak melegakan, menurut Ihsan adalah karena Viktor Laiskodat sejauh ini belum membuat pernyataan baru terkait polemik tersebut. Masyarakat memahami, bahwa keputusan terakhir ada di Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, karena itulah antisipasi mereka arahkan pada keputusan menteri, bukan langkah gubernur.
Bergantung Pada Pariwisata
Kekhawatiran penduduk Pulau Komodo bukan hanya soal penutupan dan pemindahan penduduk, tetapi masa depan dunia pariwisata di sana. Saat ini, hampir 90 persen warga menggantungkan kehidupannya dari pariwisata. Kenyataan itu semestinya melegakan banyak pihak. Warga sadar, mereka harus menjaga komodo yang menjadi daya tarik wisata utama. Karena itulah, menurut Ihsan, sejak lama mereka sudah terlibat dalam upaya perlindungan ekosistem dn kawasan Taman Nasional Komodo.
Baca Juga: Padang Rumput Pulau Komodo Terbakar, Rokok Diduga Sebagai Penyebabnya
Masyarakat Pulau Komodo hidup selaras dengan satwa itu. Mereka ada di halaman, di kolong-kolong rumah, dan di manapun tempat warga pulau berada.
“Sebelum taman nasional ada, sebelum jadi cagar alam, sebelum kemerdekaan, masyarakat sudah menempati Pulau Komodo. Mereka sudah menjaga, melindungi binatang komodo. Bukan hanya komodo saja, tetapi seluruh ekosistem. Masyarakat sudah sadar semua itu,” kata Ihsan.
Masyarakat Pulau Komodo dan sekitarnya awalnya bekerja sebagai nelayan. Di sekitar pulau itu, terdapat Pulau Rinca, Pulau Padar, Nusa Kode dan Gili Motang. Komodo terbanyak ada di Pulau Komodo dan Rinca. Wisatawan datang menggunakan kapal, sebelum kemudian berpetualang di dalam pulau untuk menemukan komodo.
Tahun 2008, jumlah wisatawan ke Pulau Komodo tercatat 44.000 dalam setahun. Jumlah itu melonjak menjadi 176 .000 pada tahun 2018, dengan mayoritas wisatawan asing. Dalam tahun-tahun mendatang, diperkirakan angkanya akan terus melonjak karena Jokowi telah menetapkan Labuan Bajo sebagai salah satu dari 10 Balli baru. Dari 10 itu, Labuan Bajo menjadi satu dari empat prioritas utama bersama Borobudur, Toba dan Mandalika.
Baca Juga: Pembangunan Rest Area di Taman Nasional Komodo Menuai Protes
Wisatawan biasanya datang menggunakan pesawat menuju Labuan Bajo dari Bali atau Lombok. Untuk menuju ke pulau-pulau dengan Komodo di dalamnya, perahu menjadi satu-satunya sarana transportasi. Pulau Komodo dapat dicapai sekitar tiga jam dari Labuan Bajo, sedangkan Rinca yang lebih dekat membutuhkan waktu sekitar dua jam.
Konservasi Libatkan Masyarakat
Dominikus Karangora dari Walhi NTT mengatakan, pengembangan pariwisata seharusnya tetap melibatkan masyarakat. Apalagi, penduduk Pulau Komodo berperan sangat besar dalam konservasi maupun pariwisata itu sendiri.
Dominikus mengatakan, mereka mendukung konservasi, tetapi tidak dengan cara menutup Pulau Komodo.
“Karena memang ada masyarakat yang hidup di dalamnya. Kita tidak bisa mengesampingkan itu. Kita melakukan konservasi lingkungan dan satwa, tetapi tidak harus melupakan bahwa di situ juga ada manusia. Dan, tidak bisa dipisahkan antara manusia dan lingkungan hidup,” kata Dominikus.
Baca Juga: Mengapa Kebakaran Hutan dan Lahan Masih Sering Terjadi Meski Sudah Restorasi?
Walhi NTT percaya selama ini masyarakat telah menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya konservasi taman nasional. Karena itu, tidak masuk akal jika tiba-tiba muncul ide merelokasi masyarakat dari pulau tempat mereka hidup selama ini.
Salah satu kelebihan masyarakat Pulau Komodo, adalah karena mereka mengenal dengan baik satwa itu di habitatnya. Secara alamiah, kata Dominikus, mereka menjadi ahli komodo. Bahkan di NTT sendiri, tidak ada pakar komodo yang memahami satwa tersebut secara ilmiah. Kondisi ini juga terkait dengan sejarah kehidupan masyarakat setempat, dan kebersamaan mereka dengan komodo selama ini.
“Konservasi harus melihatkan masyarakat Pulau Komodo. Mereka tahu seluk beluk Komodo. Masyarakat Pulau Komodo bahkan mampu memberi makan Komodo dengan daging di tangannya, sedangkan para ranger di taman nasional masih butuh kayu untuk antisipasi apabila ada serangan dari komodo,” papar Dominikus. [Nurhadi Sucahyo/ns/uh/VOA Indonesia]