Selain membina diri, anak-anak ini juga diajarkan salat, menghapal doa, dan surat-surat pendek. Mereka juga berlatih membaca dan menulis, berolahraga, serta mencoba mengenal lingkungan sekitarnya dengan kegiatan luar ruangan.
Tidak mudah mengajar anak berkebutuhan khusus. ABK memiliki keunikan yang berbeda dengan anak pada umumnya. Beberapa cirinya menonjol, tidak suka bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya, bahkan dengan orang tuanya sendiri.
Walau sebagian anak telah remaja atau berusia belasan tahun, tapi secara psikologis perilaku dan pola pikirnya setara dengan anak usia delapan tahun.
Meski begitu, Yulianti mengaku tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat anak-anak didiknya akhirnya bisa melakukan kegiatan sehari-hari. Mulai dari hal terkecil seperti makan, membersihkan kotoran, mandi, dan memakai baju sendiri. Jadi, jika ditanya lagi apa suka dan dukanya dalam mengajar, ia dengan yakin menjawab, “Dukanya sedikit, banyakan sukanya.”
Baca Juga: Berbuat Baik Benar-Benar Membuat Kita Bahagia, Ini Alasan di Baliknya
Hal yang sama juga disampaikan oleh Dhea Trihutami, salah satu pengajar di sekolah Dreamable. “Ada suka dukanya mengajar, tapi biasanya dukanya hanya berapa detik, terus lupa,” tutur Dhea. Anak-anak didiknya seringkali memancing Dhea untuk tertawa. Selalu ada tingkah polah mereka yang lucu. Inilah yang membuatnya terus semangat mengajar mereka.
Melihat semangat dan ketulusan para pengajar, bukan tidak mungkin Sekolah Dreamable dapat lebih berkembang dan menghasilkan ABK yang mandiri. Perjuangan orang tua dalam mengusahakan pendidikan anak pun patut dipuji.
“Di saat anak-anak sudah mendapatkan pekerjaan, itu artinya mereka sudah lulus dari Sekolah Dreamable ini,” pungkas Yulianti.