Nationalgeographic.co.id – Suara nyaring terdengar saat National Geographic Indonesia mengunjungi Sekolah Inklusi Hidayah di Desa Tegalluar, Bojongsoang, Bandung. Belasan anak berkebutuhan khusus (ABK) sedang melantunkan surat-surat pendek dalam Alquran sebelum memulai aktivitas belajar. Mereka dapat melakukannya dengan baik dan penuh semangat hingga akhir.
Butuh perjuangan panjang hingga anak-anak ini bisa melantunkan doa tersebut. Setiap Senin hingga Kamis, sejak tahun 2015, Yulianti, sang pendiri, berusaha untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di desanya secara sukarela. Ia bahkan tidak mendapat uang satu rupiah pun dari kegiatan mengajar tersebut.
Bukan tanpa sebab Yuli rela melakukannya. Kisah Yuli bermula dari rumah dan keluarganya sendiri. Anak laki-laki Yuli, Hanif Nauval, merupakan seorang tuna grahita.
Baca Juga : Tidak Lagi Bekerja Serabutan, Warga Tuli-Bisu Kini Berternak
Wanita berusia 36 tahun ini melihat sendiri bagaimana perkembangan anaknya. Dari yang tadinya tidak bisa melakukan apa-apa, hingga saat ini sudah bisa makan dan mandi sendiri. Bahkan bisa mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, seperti menyapu, mengangkat jemuran, dan mencuci piring.
“Saya jadi sadar bahwa anak berkebutuhan khusus ternyata bisa diarahkan, sehingga bisa mengurus dirinya sendiri. Mereka juga punya kelebihan lain yang bisa dikembangkan,” papar Yuli.
Melihat hal tersebut, Yuli tergerak untuk semakin mendalami–sering membaca buku–mengenai anak berkebutuhan khusus. Bahkan, ia memutuskan untuk kuliah di jurusan Pendidikan Luar Biasa di Universitas Islam Nusantara (UNINUS). Ia ingin mendidik anak-anak berkebutuhan khusus dan membuktikan kepada semua orang bahwa mereka juga bisa beraktivitas seperti yang lainnya.
Awalnya, sebagai pekerja sosial yang aktif di lingkungannya, Yuli mulai mendata anak-anak berkebutuhan khusus di sekitar rumahnya. Ia cukup terkejut saat menemukan empat anak ABK dalam satu RT. Secara total, ada 36 anak penyandang disabilitas di Tegalluar–jumlah yang cukup banyak dalam sebuah desa kecil.
Tidak semua anak-anak berkebutuhan khusus ini mendapat pendidikan yang sesuai, seperti yang Hanif dapatkan. Beberapa dari mereka bahkan dikurung di dalam rumah dan ditelantarkan oleh anggota keluarganya. Rasa malu menjadi salah satu penyebabnya.
Tanpa lelah, Yuli membujuk orang tua agar memasukkan anak mereka ke SLB. Namun hanya 12 orang tua yang mengikuti saran Yuli, sisanya menolak dengan berbagai alasan. Yang paling sering adalah tentang jarak rumah warga dengan SLB yang cukup jauh. Selain itu, orang tua juga enggan memasukkan anaknya ke sekolah inklusi karena sering mengalami perundungan dari anak-anak normal.
Mencoba menjawab persoalan, Yuli pun akhirnya merelakan rumahnya sebagai “sekolah” bagi anak-anak berkebutuhan khusus. “Karena tidak ada tempat, nggak apa-apa pakai rumah saya agar mereka bisa belajar,” ujarnya.
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR