"Paus yang mengalami kematian, disebabkan karena berada terlalu lama di udara terbuka pada saat surut, sehingga diduga dehidrasi dan pada bagian tubuh mengalami luka lecet, akibat benturan pada batu karang pada saat dievakuasi, menunjukan ada kesalahan cara penanganannya," ungkap Ikram Sangadji, Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang.
Peristiwa terdamparnya 17 paus di Perairan Sabu pada Kamis (10/10/2019) bukanlah peristiwa yang pertama.
Pada Senin, 1 Oktoober 2012 ada 46 paus pilot yang terdampar di Desa Deme, Kecamatan Liae, Kabupaten Sabu Raijua. Kala itu, 44 ekor paus mati dan hanya dua ekor yang selamat.
Baca Juga: Paus di Penangkaran atau Akuarium Cenderung Mati Muda Akibat Stres
Selain itu, pada 4 Juli 2018 seekor paus sperma dengan panjang 9,8 meter ditemukan mati terdampar di pantai Desa Halapaji, Kecamatan Liae, Kabupaten Sabu Raijua. Diawali dengan ritual adat, paus berukuran besar tersebut dikuburkan dekat pantai
Ikram Sangadji, Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang mengatakan pola kejadian terdamparnya paus di bagian utara dan selatan Sabu Raijua, hampir sama yaitu paus memasuk kolam air di belakang fringing reef yang terdapat ikan kecil dan plankton.
Menurutnya karakteristik perairan berkarang dan luasnya daerah intertidal yang didominasi oleh tipe fringging reef, memudahkan paus mengalami stranding jika memasuki daerah intertidal pada saat pasang tertinggi.
"Setelah air surut, paus yang berukuran besar ini sulit kembali dan mengalami kekeringan sehingga sebagian tubuh bagian atas berada pada udara terbuka dan terkena sinar matahari sehingga akan mengalami dehidrasi dan kehilangan energi," ungkap Ikram, Sabtu (12/10/2019) petang. (Sigiranus Marutho Bere/Kompas.com)