Kisah Para Perempuan Indonesia Pengidap HIV/AIDS yang Hidup dengan Stigma

By National Geographic Indonesia, Rabu, 4 Desember 2019 | 10:54 WIB
Ilustrasi HIV/AIDS. (eatright.org)

Bertahan hidup dengan stigma

Hasil wawancara saya dengan 33 perempuan berstatus positif HIV/AIDS menunjukan bahwa dalam menjalani hidup sebagai orang yang terstigma, mereka melakukan berbagai strategi untuk terus bisa melanjutkan hidup.

Strategi yang paling umum adalah menyembunyikan status mereka. Seorang responden, DW, memilih untuk tidak membuka statusnya sebagai bentuk antisipasi akan kemungkinan stigma yang dia akan hadapi jika membuka statusnya.

Taktik lainnya adalah mengabaikan status positif HIV dan mengabaikan pandangan masyarakat. Strategi ini biasanya diikuti dengan tindakan membuka status mereka ke publik dan strategi perlawanan untuk membela hak-hak perempuan yang positif HIV/AIDS.

Cara lainnya adalah bergabung dengan kelompok dukungan yang bermanfaat secara sosial untuk mengembalikan kepercayaan diri, menambah pengetahuan, dan juga menambah pendapatan ekonomi. Setiap orang tidak hanya menggunakan satu strategi saja tapi seringkali beberapa taktik pada saat yang bersamaan.

Terkait dengan aspek ekonomi, kepergian suami baik karena meninggal atau bercerai telah memperburuk kondisi ekonomi perempuan dengan HIV/AIDS yang sebelumnya sangat tergantung pada suami. Akan tetapi, mereka tetap bisa melanjutkan hidup walau masih dengan kondisi yang terbatas.

Secara umum strategi ekonomi perempuan dalam studi saya ini dapat dikelompokkan menjadi empat:

  1. Mereka yang hanya bekerja di LSM yang fokus pada isu HIV/AIDS.
  2. Mereka yang bekerja di LSM tapi juga memiliki pekerjaan atau usaha lain untuk menopang kebutuhan ekonomi.
  3. Mereka punya usaha atau pekerjaan yang tidak bersinggungan dengan LSM seperti berdagang dan wirausaha.
  4. Bergantung pada keluarga karena tidak memiliki pekerjaan yang membantu mereka mencukupi kebutuhan hidup.

Feminisasi HIV/AIDS

Menurut Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA), empat per lima (4/5) dari kasus baru perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS terjadi dalam pernikahan atau hubungan jangka panjang dengan satu pasangan. Peningkatan signifikan jumlah perempuan dengan HIV/AIDS ini sering dikenal dengan istilah feminisasi HIV/AIDS. Perempuan menjadi lebih rentan terinfeksi HIV/AIDS dibandingkan laki-laki.

UNFPA menyatakan diskriminasi gender, kemiskinan dan kekerasan merupakan faktor utama yang berkontribusi bagi munculnya feminisasi HIV/AIDS. Secara fisiologi perempuan lebih rentan dibandingkan laki-laki untuk terinfeksi HIV melalui hubungan seks.

Dibandingkan laki-laki, perempuan juga cenderung tidak memiliki kontrol yang cukup terhadap hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi. Perempuan juga sering tidak memiliki cukup kekuasaan dan dukungan sosial untuk menuntut seks yang lebih aman atau menolak berhubungan seks yang tidak mereka inginkan. Kekerasan seksual berbasis gender memperparah risiko perempuan untuk terinfeksi HIV/AIDS.

Secara umum, ketimpangan gender yang bersumber dari subordinasi posisi perempuan di masyarakat meningkatkan kerentanan mereka untuk terinfeksi HIV/AIDS. Gambar di bawah ini menunjukan korelasi yang tinggi (0,68) antara persentase perempuan yang terinfeksi HIV dan Indeks Ketimpangan Gender. Hal ini berarti bahwa perempuan di negara-negara yang tinggi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, lebih rentan terinfeksi HIV/AIDS.

Ketika perempuan sudah terinfeksi, ketimpangan gender juga menjadi faktor yang menyebabkan perempuan mengalami dampak negatif yang lebih berat baik secara sosial maupun ekonomi.

Perempuan yang menderita HIV/AIDS umumnya mengalami diskriminasi dan stigma yang lebih berat. Mereka juga sering kali lebih sulit mengakses perawatan bagi diri mereka sendiri. Karena umumnya perempuan yang terinfeksi dari pasangannya akan tetap mendahulukan pengobatan bagi suaminya dan anak-anak (jika ada anak yang juga terinfeksi) dibandingkan perawatan bagi diri mereka sendiri.