Kisah Para Perempuan Indonesia Pengidap HIV/AIDS yang Hidup dengan Stigma

By National Geographic Indonesia, Rabu, 4 Desember 2019 | 10:54 WIB
Ilustrasi HIV/AIDS. (eatright.org)

Nationalgeographic.co.id - Ibu rumah tangga dan anak-anak di bawah usia 15 tahun di Indonesia kini merupakan dua kelompok yang rentan terinfeksi HIV/AIDS. Mereka hidup di bawah bayang-bayang stigma, mengalami diskriminasi, dan kerap sulit mengakses perawatan kesehatan yang layak bagi diri mereka sendiri.

Hasil riset saya yang baru saja diterbitkan di International Sociology menunjukkan bahwa dari 33 perempuan di tiga kota (Jakarta, Yogyakarta, dan Bali) yang saya wawancarai, 27 (81%) di antaranya terinfeksi HIV/AIDS dari suami atau pasangan tunggal. Suami atau pasangan mereka, sebanyak 63% meninggal lebih dulu karena penyakit menular tersebut.

Sebagian besar perempuan ini baru mengetahui status positif HIV setelah suami meninggal atau ketika suami sudah sakit parah. Sedangkan 37% lainnya merupakan perempuan yang suami atau pasangannya masih hidup tapi mereka sudah tidak lagi berhubungan dengan suami atau pasangannya baik karena telah bercerai/berpisah dan pergi dengan perempuan lain.

Baca Juga: Selain Diabetes, Ini 5 Penyakit yang Muncul Akibat Konsumsi Gula Berlebihan

Sampel itu hanya bagian kecil dari jumlah total perempuan dengan HIV/AIDS di negeri ini. Dalam 30 tahun terakhir hingga Desember 2017, menurut data Kementerian Kesehatan, lebih dari 14 ribu ibu rumah tangga terinfeksi HIV/AIDS, dari total lebih dari 102 ribu penderita HIV/AIDS.

Di level global, separuh lebih (52%) dari hampir 38 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS di seluruh dunia adalah perempuan. Sedangkan anak-anak di bawah 15 tahun dengan HIV/AIDS mencapai 1,8 juta.

Hidup menanggung stigma

Sejak awal kemunculannya pada 1980-an, HIV/AIDS tidak hanya dipandang sebagai masalah medis tapi juga dilihat sebagai penyakit stigma karena penyakit ini sering dikaitkan dengan permasalahan moral. Karena itu, orang yang hidup dengan HIV/AIDS rentan mengalami luka moral yang memaksa mereka untuk hidup menanggung stigma negatif seumur hidup. Stigma merupakan atribut yang mendiskreditkan seseorang.

Meski HIV/AIDS awal mulanya banyak ditemukan di kalangan kelompok berisiko –- homoseksual, pekerja seks komersial dan pengguna obat-obatan terlarang —- kini orang-orang yang bukan termasuk kelompok berisiko, seperti ibu rumah tangga dan anak-anak, juga bisa terinfeksi HIV. Mereka mengalami stigma yang lebih buruk.

Seperti kategori stigma versi antropolog kesehatan dari Western Sydney University Liamputtoong, riset saya juga menemukan bentuk-bentuk stigma yang dialami oleh perempuan dengan HIV/AIDS di Indonesia. Stigma yang dialami antara lain:

Pertama, menstigma diri sendiri (self-stigma) yang terjadi melalui penyalahan diri sendiri. Hal ini umumnya terjadi pada tahap awal ketika perempuan dengan HIV/AIDS baru mengetahui status positif mereka.

Kedua, stigma yang dirasakan (perceived stigma) yakni stigma yang terkait dengan ketakutan perempuan dengan HIV/AIDS bahwa mereka akan distigma jika mereka membuka status positif mereka.

Ketiga, stigma yang terjadi (enacted stigma), yakni perempuan dengan HIV/AIDS mengalami diskriminasi karena status HIV/AIDS mereka. Diskriminasi bisa datang dari keluarga sendiri, teman, dan masyarakat sekitar. Diskriminasi juga bisa datang dari tenaga kesehatan maupun negara terkait hak dan akses pelayanan kesehatan bagi mereka yang berstatus positif.