Berikhtiar Merawat Benteng Kehidupan

By National Geographic Indonesia, Sabtu, 28 Desember 2019 | 10:45 WIB
Keanggunan Gunung Welirang yang menyimpan tirta untuk kehidupan manusia. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

 

Sekecil apapun perilaku kita untuk pelestarian, kelak berpengaruh besar terhadap kualitas hidup.

Nationalgeographic.co.id - Pagi menjelang di lereng Gunung Welirang. Muhlis berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah hutan. Dia memanggul cangkul dan membawa beberapa bibit pohon buah-buahan.

Setelah memintasi rerumputan yang basah, lalu lelaki itu berhenti sejenak untuk mencari lahan untuk menanam bibit pohon tadi. Dia mulai mencangkul, membuka pelindung tanaman, kemudian menanamnya. Terakhir, ia menandainya tanaman itu dengan bambu.

Muhlis adalah lelaki sederhana. Dia tinggal bersama keluarganya di Desa Claket, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto. Minatnya tentang pelestarian tumbuh sejak ia mengikuti kegiatan kepanduan pada awal 1990-an.

Dua dekade silam, hutan kawasan penyangga ini mengalami kerusakan akibat penjarahan besar-besaran. Saat itu tidak melihat terlalu jauh ke luar kawasan, melainkan fokus pada kawasan di sekitar desanya.

Terdapat tujuh mata air yang menghidupi warga Claket: Gunung kejen, genitri, Galbabatan, Kencur, Gedhang, Panceng, dan Cemara. Penebangan pohon tak terkendali itu  berdampak pada menyusutnya debit sumber mata air.

Hatinya tergerak untuk menyelamatkan hutan dengan menanam pohon. Ajakan kepada tetangganya untuk menanam pohon sempat ditertawakan karena menurut mereka persoalan hutan adalah persoalan Perhutani, bukan warga.  “Mereka tidak tahu apabila ada kerusakan hutan yang kena dampak langsung adalah kami sendiri atau warga yang di sekitarnya,” ujarnya. “Untuk itu kami coba mengajak masyarakat untuk melestarikan hutan ini demi keberlanjutan kehidupan kita dan anak cucu kita nanti.”

Muhlis, pelestari dari Desa Claket. Upayanya meyakinkan warga tentang sumur resapan telah melestarikan sumber-sumber air di bawah desa mereka. (Gema Ramadan/National Geographic Indonesia)

Kendati banyak rintangan, Muhlis tetap melanjutkan misinya. “Saya mengajak warga desa untuk turut melestarikan mata air di bawah desa kami, terutama Sumber Djoebel,” ujarnya. Kemudian dia melanjutkan, “Karena aksesnya untuk warga di bawah kita yang kekurangan air di kawasan Mojokerto dan Surabaya.”

Gunung Welirang boleh dikata salah satu tandon airnya Jawa Timur. Sumber Djoebel, yang berada di bawah Desa Claket, adalah salah satu mata air yang selalu memancarkan tirta kehidupannya untuk manusia. Artinya, kawasan Claket menjadi salah satu bagian catchment area atau daerah tangkapan sumber air warisan leluhur itu.

Pada 1927, Pemerintah Hindia Belanda membangun megaproyek penyediaan air bersih dari Sumber Djoebel di ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut untuk kawasan hilir hingga pesisir, yakni Mojokerto dan Surabaya. Peresmian infrastruktur ini digelar pada Desember 1929. Sampai hari ini, bangunan-bangunan air dan sistem pipa yang membentang sepanjang 160 kilometer itu masih dimanfaatkan oleh PDAM untuk distribusi air.