Berikhtiar Merawat Benteng Kehidupan

By National Geographic Indonesia, Sabtu, 28 Desember 2019 | 10:45 WIB
Keanggunan Gunung Welirang yang menyimpan tirta untuk kehidupan manusia. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

“Kami sudah banyak sekali menanam pohon di catchment area,” kata Muhlis, “tetapi dampaknya tidak langsung terhadap sumber mata air di bawah.”

Dia bersama warga desanya mencoba berinovasi. Mereka membuat sebuah rencana program sumur resapan, yang saat itu bebarengan dengan program Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene (IUWASH) yang didukung Cocacola Foundation Indonesia pada 2016.

Jalan menuju Sumber Djoebel dengan tajuk-tajuk pohon yang melindung mata airnya. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Muhlis mengenang, program sumur resapan ini diresmikan dengan air yang berasal dari lima mata air sakral, termasuk Jalatunda yang sudah mengalir sejak sebelum zaman Majapahit. Program ini telah bergulir dan telah mencetak sekitar 350 sumur resapan—150 unit di Perhutani Claket dan 200 unit di Desa Claket. Muhlis menyebutnya dengan, “Panen air hujan dengan teknologi sumur resapan.”

“Sumur resapan yang kami bangun itu tidak serta merta diterima masyarakat,” ucap Muhlis dengan getir. “Masyarakat menertawakan kami. Banyak masyarakat yang menolak. Apa itu sumur resapan, gunanya untuk apa, dan manfaatnya untuk siapa?”

Kendati banyak dicibir, Muhlis tetap melakukan penyuluhan-penyuluhan ke warga. Sedikit demi sedikit warga tertarik untuk membangunya karena pada akhirnya sumur-sumur resapan itu memberikan manfaat sosial langsung kepada warga.

Permukiman Desa Claket dibangun mengikuti kontur tanah. Terdapat permukiman yang berada di atas dan di bawah. Ketika hujan deras, air hujan bahkan sampai menerjang masuk ke rumah warga yang berada di bawah.

Salah satu bangunan reservoir Sumber Djoebel, yang mengalirkan air dari punggung Welirang hingga ke kawasan Mojokerto dan Surabaya sejak 1929. Arsiteknya adalah Simon Snuijf. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Akibatnya, warga yang rumahnya berada di bawah kerap berseteru dengan warga yang berada di atas. Namun, setelah dibangun sumur-sumur resapan, air hujan mengalir memasuki sumur-sumur resapan itu sehingga mengurangi air yang terlimpas ke permukiman bawah. “limpasan air yang berada di permukaan tanah ini sudah berkurang jauh,” kata Muhlis dengan bangga, “bisa masuk ke sumur resapan, sehingga saat ini sudah tidak ada lagi percekcokan antartetangga.”

Di samping perkara sosial yang terselesaikan, ada sederet manfaat yang dirasakan warga. Lantaran air hujan terlimpas menuju sumur resapan, jalan tidak lekas rusak, longsor berkurang, kawasan yang awalnya tergenangan kini tidak lagi.

IUWASH dan Cocacola Foundation Indonesia menggulirkan program sumur resapan pada periode 2015-2016, yang didukung juga oleh PDAM Kabupaten Mojokerto. Program itu tampaknya membuahkan hasil yang signifikan dalam pelestarian sumber air. “Sebelumnya debit air 18.4 liter per detik,” kata Fayakun Hidayat selaku Direktur PDAM Kabupaten Mojokerto. “Setelah program—terakhir sebelum musim kemarau panjang—kurang lebih bisa mencapai 70 liter per detik. Di musim kemarau tahun ini turun menjadi kurang lebih 50 meter per detik.”