Berikhtiar Merawat Benteng Kehidupan

By National Geographic Indonesia, Sabtu, 28 Desember 2019 | 10:45 WIB
Keanggunan Gunung Welirang yang menyimpan tirta untuk kehidupan manusia. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Lokasi pemasangannya merupakan kawasan jaringan distribusi yang tidak dapat dibangun sesuai standar teknis karena berbagai alasan seperti: kawasan informal atau terletak di gang sempit. Di sinilah peran PDAM dalam memberikan layanan melalui Kelompok Swadaya Masyarakat dengan meter induk (Master Meter). Layanan ke masyarakat ini dilakukan dan dikelola oleh KSM atas dukungan lembaga donor atau program mitra lainnya.

Suasana pagi di Kampung Joyoboyo Belakang. Kampung ini menempati tapak Stasiun Trem Wonokromo tinggalan Staatspoorwegen. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Kendati demikian, saat program ini masuk ke kampungnya, tak semua warga setuju, banyak pula yang tidak setuju. Soejanto berupaya meyakinkan dari rumah ke rumah perihal betapa buruknya air tanah yang selama ini mereka gunakan.

Soejanto menjelaskan dan meyakinkan manfaat menggunakan air PDAM kepada warga. Perkara utamanya adalah penghematan biaya. Apabila kita mengonsumsi satu air galon isi ulang (setara 25 liter) setiap hari seharga Rp2.000, artinya dalam sebulan kita mengeluarkan uang Rp60.000. “Rata-rata menggunakan air untuk aktivitas kehidupan sehari-hari pasti lebih bdari satu galon,” ujarnya.

PDAM menawarkan 1.000 liter seharga Rp2.000. “Setelah dikelola masyarakat dalam Master Meter harganya Rp3.000,” kata Soejanto. “Sisanya akan dikembalikan lagi ke masyarakat untuk pemeliharaan, dikembalikan ke warga contohnya: koperasi simpan pinjam, belajar pelatihan memasak ibu-ibu PKK yang tergabung dalam master meter.”

Artinya, warga akan menekan biaya operasional penggunaan air apabila mereka menggunakan air PDAM. Biaya penggunaan listrik untuk pompa air sumur pun berkurang. “Kalaupun sama, minimal kita sehat,” kata Soejanto. “Itu yang penting.”

Program Master Meter telah memberikan manfaat peningkatan akses air bersih perpipaan bagi warga miskin di 16 lokasi di Kota Surabaya. (Febrizal/National Geographic Indonesia)

Kendati kampungnya kumuh, dia ingin orang-orang di kampungnya memiliki pendidikan baik, gaya hidup yang baik sehingga mereka tidak tertinggal. “Kalau kita amburadul, kapan kita maju?” Soejanto beretorika. “Kalau kita sehat, hidup kita sehat, pasti pola berpikir berbeda—lebih sehat.”

Ketika program bermula pada 2017, sebanyak 81 sambungan rumah Master Meter telah terpasang. Pada tahun ini, program ini mencapai 88 sambungan rumah. Pun, masih ada empat sambungan yang disusulkan. Dengan kata lain, mereka yang masih menolak pada permulaan proyek pun pada akhirnya menyusul.

Program Master Meter menyediakan meteran dan pipa gratis, namun biaya pemasangannya dibebankan kepada warga. Demi kelancaran pemasangan, Soejanto dan seorang kawan menalangi biaya pemasangan untuk semua warga yang bersedia. “Setiap sambungan rumah dikenakan biaya lima ratus lima puluh ribu,” jelas Soejanto. “Itu pun bayarnya dicicil.”

Kini Soejanto dan warga kampungnya menikmati debit air yang tak terputus selama 24 jam, kebaikan tirta semesta untuk sepetak kampung di Surabaya.

Kerja keras Soejanto dan warga telah membawa kampung mereka menjadi teladan. Pada tahun ini kampungnya mendapat Penghargaan Pengelolaan Air Terbaik untuk Master Meter 2019.  

Sekecil apapun perilaku kita untuk lingkungan akan berpengaruh besar terhadap kualitas kehidupan. Hutan dan gunung tidak pernah meminta kembali air yang mereka alirkan untuk kehidupan kita. Sudah sepantasnya apabila kita merawat hutan dan melestarikan sumber-sumber airnya. Air telah menjelma sebagai benteng kehidupan.

Mbah Sateman, lelaki berusia lebih dari seratus tahun yang masih menjaga nilai spiritual Sumber Djoebel, berpesan tentang upaya merawat benteng kehidupan. “Jika hutan banyak ditebang, air akan menyusut.  Air itu asalnya dari akar-akar pohon yang mengalir sebagai sumber air. Tujuan merawat hutan supaya sumber air lancar.”