Salah satu permasalahan, mungkin untuk seluruh PDAM Indonesia, sekarang ini adalah ketersediaan air baku. “Kita, dengan adanya sumur resapan, berkomitmen bahwa ini harus kita pelihara, jangan sampai tersumbat,” ujar Fayakun. Dia menambahkan bahwa pada 2015 jumlah pelanggan PDAM Kabupaten Mojokerto masih sekitar 17.000. Namun, Sekarang kantornya bisa melayani hingga 28.000 pelanggan. “Ya itu karena sumur resapan,” jelasnya. Namun, selain itu juga karena upayanya dalam “pembersihaan sumber dan mengikuti kearifan lokal juga.”
Indonesia membutuhkan pejuang-pejuang lingkungan seperti Muhlis. Apa yang sesungguhnya mendorong Muhlis tanpa pamrih berupaya untuk kelestarian sumber-sumber air di sekitar desanya?
“Yang memberi motivasi kepada saya untuk berbuat bagi terhadap lingkungan, yaitu saat saya berkunjung ke salah satu guru mengaji saya,” kata Muhlis. “Beliau berkata kepada saya, ‘“di mana bumi dipijak, itu adalah Bumi Allah. Dan, kamu sebagai khalifah harus menjadi khalifah yang baik.”’ Muhlis melanjutkan perkataan guru mengajinya, “Karena saat kamu berbuat baik, menanam pohon, membuat sumur resapan, apapun itu yang isinya demi pelestarian lingkungan, maka itulah amal jariyah yang akan kamu bawa dihadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala.”
Perkara yang lebih penting lagi, bagaimana warga menyadari perilakunya untuk mengembalikan air hujan itu ke tanah sehingga memperbesar sumber mata air di bawah permukiman mereka, terutama Sumber Djoebel. Mata air ini sangat penting bagi kehidupan di Mojokerto sampai Surabaya. “Sedikit apa pun yang kita lakukan untuk kegiatan pelestarian lingkungan,” kata Muhlis, “sangat besar dampaknya terhadap masyarakat yang ada di bawah.”
Sekitar 60 kilometer di bawah Sumber Djoebel, kesyahduan lereng Welirang berubah menjadi hiruk pikuk gelumat kota. Surabaya, salah satu kota pesisir yang senantiasa dahaga. Rata-rata konsumsi air per orang mencapai 190 liter per hari di Surabaya, sedangkan rata-rata nasional sekitar 120 liter per hari.
Permukiman yang kian padat membuat warga kota ini tak kuasa mendapatkan air bersih dari tanah mereka sendiri. Perkara air bersih sudah menjadi bagian kehidupan warga di sepetak Kampung Joyoboyo Belakang, Wonokromo.
Kampung ini tercipta di bekas tapak stasiun trem Wonokromo, yang pada zaman Hindia Belanda dimiliki oleh perusahaan pembangun jalan kereta api milik negara—Staatspoorwegen. Sampai saat ini kita masih bisa menyaksikan jejaknya. Peron stasiun yang berubah menjadi pasar dan bengkel kereta bertahun 1913 yang masih mencoba tegar meski digerogoti usia. Hanya trem dan jaringan relnya yang sudah tak berjejak lagi.
“Relnya dulu di sini,” ujar Soejanto sembari menunjuk lantai Balai Rukun Tetangga. “Termasuk di bawah rumah saya juga.”
Soejanto, lelaki berusia 67 tahun, menghuni kampung ini sekitar empat dekade silam. Itu pun lantaran mertuanya adalah pensiunan masinis trem Staatspoorwegen. Dia sadar bahwa populasi Surabaya yang kian memadat membuat air bersih kian sulit didapat. “Di dalam masing-masing rumah pasti ada pembuangan kotoran—yang jaraknya kita tidak tahu antara tembok dengan tembok, antara saptic tank dan sumur,” ujarnya. “Air benar memang bening, namun untuk kesehatan ini sudah tidak memenuhi sarat.”
Soejanto merupakan pengurus Kelompok Swadaya Masyarakat “Warijo 1” dan “Warijo 2”.Dialah sosok yang mengupayakan masuknya aliran air bersih dalam program Master Meter yang didukung PDAM Surabaya, IUWASH dan Cocacola Foundation Indonesia. Program Master Meter ini merupakan bagian dari peningkatan akses air bersih perpipaan bagi warga dengan 40 persen tingkat kesejahteraan rendah di 16 lokasi di Kota Surabaya.