Gunung Api Purba yang Menuntaskan Dahaga

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 28 Januari 2020 | 09:29 WIB
Misteri gunung api purba yang menjaga Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Demon Pagong, Flores Timur. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

 

Nationalgeographic.co.id— “Kakek leluhur saya mendarat di sini,” ujar Petrus Lawe Kolah. Lelaki tua itu menunjuk lokasi pada peta yang tergantung di dinding. Lalu dia berucap, “Pantai Graki.”

Malam itu Petrus baru saja pulang dari pantai pasir putih yang menandai nama leluhurnya. Menurut kisah keluarga, leluhurnya adalah seorang Cina asal dari Jawa yang datang berabad silam. Keluarganya pun mengenang sang leluhur dalam untaian kata sastrawi, Graki Tasi Tuki Huri Sina Haka Jawa Gere.

Graki Tasi, artinya turun ke laut. Tuki Huri, artinya angkat layar. Sina Haka, artinya asal dari Cina. Jawa Gere, artinya asal dari Jawa,” kata Petrus. “Dia digambarkan seorang pelaut yang gagah perkasa.”

Kakek leluhurnya menikahi perempuan asal Ile Mandiri, gunung api yang berada di seberangnya. Kemudian, pasangan itu membangun permukiman di perbukitan. Permukiman mereka berpindah-pindah sampai pada akhirnya keturunan mereka membangun permukiman di pesisir bernama Likotuden. “Liko artinya terlindungi atau melindungi. Tude berarti berteduh,” ungkap Petrus. “Likotuden bisa bermakna tempat perlindungan yang aman.”

Pasangan itu melahirkan marga Kolah, salah satu dari dua marga asli di kampung itu yang masih berlanjut hingga sekarang di Likotuden. Dusun ini diyakini yang tertua di Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur. Jaraknya sekitar 80 kilometer dari Maumere.

Dusun terpencil dan terkucil ini berada di kaki gunung api purba, yang dinding kalderanya tampak menganga ke arah dusun. Tak satupun kisah yang diingat warga tentang erupsi terakhir gunung itu. Namun, tampaknya kaldera itu pecah karena erupsi dahsyat pada ribuan tahun silam. Material erupsinya melaju beberapa kilometer hingga mendesis karena menjamah air laut. Sampai hari ini, jejak erupsi dahsyat itu masih membekas di dusun dan ladang yang tandus. Sejauh mata memandang, terhampar tanah berpasir dan berbatu-batu.

Baca Juga: Berikhtiar Merawat Benteng Kehidupan

Seorang mama berjalan sembari menenteng jeriken menuju kran air yang berada di pekarangan samping kapel dusun. Air tak tersedia setiap hari, sehingga sebagian kebutuhan air dipenuhi dengan membeli dari pemasok air keliling. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Begitu tandusnya, sehingga hanya tanaman padi ladang dan jagung yang bisa tumbuh di sini. Ketandusan itu lengkap kiranya karena musim hujan pun berderai selama tiga-empat bulan saja. Sungguh misterius karena belahan lain gunung ini tampak hijau, basah, dan subur.

Saya bertanya kepada Petrus, mengapa dusunnya begitu tandus, nyaris tak ada tanaman tumbuh saat kemarau. Sumber air pun tak ada yang mengalir langsung di desa ini.

Dia mengisap sigaret dalam-dalam, lalu mengembuskannya. “Ada legenda mata air Wae Kela,” ujarnya. Dia memulai bercerita,“Ada leluhur terganggu dengan suara derasnya air. Mereka pun menyumbat mata air tersebut. Sejak saat itu tiga sumber air di sini menyusut.”

Kehidupan Likotuden memang tergantung dari curah hujan, yang saat musim hujan turun pun airnya masih kurang. Musim hujan di dusun ini hanya mengguyur selama tiga-empat bulan, sementara musim kemaraunya tujuh-delapan bulan. Kendati jaringan pipa air minum sudah terpasang, pada kenyataannya belum tentu setiap hari air mengucur.