Teriknya matahari tak kuasa menembus tajuk-tajuk dua pohon roa. Mama Maria Loretha, yang kini dikenal sebagai pejuang sorgum atau mama sorgum, duduk berlandaskan batu-batu vulkanik di depan pondokannya di pesisir Likotuden. Perempuan berusia 51 tahun itulah yang memperkenalkan sorgum ke warga Likotuden. Kendati bukan warga setempat, Mama Loretha begitu jatuh cinta kepada dusun ini.
Sejak panen sorgum yang pertama, dia menyaksikan perubahan cara berpikir warga dusun. Mereka tidak sangka bahwa lahan yang mereka anggap selama ini tidak mampu menumbuhkan tanaman pangan, ternyata menghasilkan tanaman pangan yang berlimpah. “Ada kebanggaan [dari dalam diri warga],” kata Mama Loretha. “Ternyata sorgum memberikan harapan yang luar biasa untuk keberlangsungan hidup.”
Baca Juga: Pemanasan Global, Bagaimana Dampak Mencairnya Es Pada Laut Indonesia?
Kita kerap melihat Likotuden sebagai dusun dahaga. Namun, warga dusun ini sejatinya sudah terbiasa dengan kekurangan air. Mereka tertib mengantre dan tidak pernah berselisih soal air. Bisa dibayangkan, jatah air untuk mereka adalah seminggu sekali. Kemarau tahun lalu adalah yang terpanjang dan tersulit. “Satu bulan terakhir untuk pertama kali,” kata Mama Loretha, “saya dan masyarakat di dusun ini membeli air.”
“Nah, harapan saya dengan kehadiran embung,” imbuhnya, “embung bukan hanya sekadar menyirami tanaman seperti sorgum, tetapi juga bisa meningkatkan gizi masyarakat dengan tanaman sayuran—seperti sayur bayam atau pohon buah.” Kemudian dia buru-buru melanjutkan, “Tetapi ada yang lebih urgent. Air di embung ini bisa dimanfaatkan untuk kehidupan paling vital bagi manusia—minum, memasak, dan sanitasi.”
Kesakralan manusia
Saat air hujan menembus tajuk pohon asam, Romo Benyamin Daud bersama beberapa warga sedang menggelar misa pemberkatan kebun. Mereka bersatu dalam ketakziman tajuk pohon asam dan serasah yang memerah.
Pada sore itu, Romo Benyamin memberkati ladang sorgum dengan doa dan harapan. Hujan di akhir tahun dan pembangunan embung telah membuka harapan di tahun baru.
Kaki gunung api purba itu segera menuntaskan dahaganya. Embung-embung itu menjadi pucuk harapan warga. Kelak, berkat air dari embung itu mereka tak perlu menanti hujan untuk bertanam dan berkebun. Panen pun bisa lebih dari sekali dalam setahun. Semoga semesta merestuinya.
Kami kembali teringat kisah Petrus Lawe Kolah tentang legenda yang dituturkan turun-temurun tentang leluhur yang menutup sumber air, yang menyebabkan dusunnya tandus. Seperti apakah kejadian sesungguhnya, tak seorang pun mengetahuinya. Namun, Petrus tampaknya mampu menangkap pesan permasalahan dari legenda itu. “Tugas kita sekarang adalah 'membuka sumbatan' yang menutup mata air itu,” pungkasnya.