“Yang membuat sedih mama,” ujar Agata Hore Kolah, “ekonomi keluarga tidak bisa menjamin anak-anak sekolah lebih lanjut.” Siang itu Mama Agata begitu cantik dengan kain tenun khas Likotuden yang berona merah Perempuan berusia 45 tahun itu menambahkan, “Untuk menanam tanaman yang menunjang kebutuhan keluarga itu sulit karena hidup tergantung air hujan.”
Selama beberapa dekade belakangan, perekonomian warga Likotuden didukung hanya dua pekerjaan, yaitu utamanya bertani dan selebihnya mencari ikan.
Mereka awalnya hanya menanam padi jagung dan kacang. Namun, setiap tahun mereka selalu mengalami gagal panen karena curah hujan kurang.
Kondisi dusun telah menciutkan harapan anak-anak mudanya. Salah satunya adalah anak lelaki sulung Mama Agata yang memilih meninggalkan dusunnya. Dia merantau sebagai pegawai penjualan toko minuman di Jakarta. Itulah yang membuat Mama Agata sedih karena dia harus berpisah dengan sang anak.
Namun, semenjak lima tahun silam bibit-bibit sorgum mulai diperkenalkan kepada warga Likotuden. Mama Agata dan segelintir warga mengawali harapan dengan menanam sorgum kendati panen sekali dalam setahun.
Tahun lalu, di ladangnya yang seluas satu hektare, Mama Agata menuai hasil panen sorgum sebanyak satu ton. Sementara panen beras padi ladang hanya lima karung dan ladang jagungnya memberikan satu karung. Kesulitan air untuk pertanian telah membuat Likotuden benar-benar dahaga.
Pembangunan Embung Raksasa
Suatu sore dengan mendung menggelayut pada akhir Desember, saya menumpang mobil milik Romo Benyamin Daud. Kami meninjau lokasi pembangunan embung raksasa di sehamparan tanah berbatu di kaki bukit Bacina.
Embung atau bangunan penampung air digunakan untuk mengatur dan menampung pasokan air hujan. Di beberapa daerah, bangunan air ini telah digunakan untuk sumber air saat kemarau, pengairan, budidaya perikanan, hingga ekowisata. Embung dapat meningkatkan produktivitas pertanian, memungkinkan petani untuk panen dua hingga tiga kali dalam setahun.
Ketika kami berada di lokasi, para pekerjanya tengah melapisi embung itu dengan membran plastik untuk mencegah kebocoran. Embung ini berdaya tampung hingga 12 juta liter air. Harapannya, pada awal Januari 2020, ketika musim hujan menghapus tanah-tanah tandus, embung ini sudah bisa menampung air.