National Geographic Indonesia— Tak lengkap rasanya, apabila saya memperkenalkan permukiman Cina di Pantai Utara Jawa tanpa mengisahkan Pecinan Juwana. Permukiman ini merupakan saudara muda pecinan Rembang dan Lasem.
Juwana mempunyai cerita terkait candu sewaktu ketiga kota pesisir tadi disebut sebagai ‘Corong Candu’-nya Hindia Belanda sejak awal abad ke-19 sebelum berlakunya Opium Regie pada tahun 1894. Demikian ungkap James Rush dalam bukunya yang bertajuk Opium to Java yang terbit pada 1977.
Juwana seperti yang ditulis oleh Claudine Salmon, Wolfgang Franke dan Xiao Guojian dalam Chinese Epigraphic Materials in Indonesia Vol. 2 menyebutkan bahwa Juwana telah menjadi pelabuhan ramai pada abad ke-17 karena adanya perdagangan beras, kayu dan gula ke Batavia. Pada abad ke-18, tak hanya menjadi corong candu, Juwana–Rembang–Lasem menjadi pusat pembuatan kapal-kapal kayu di Hindia Belanda.
Baca Juga: Kisah Rumah Letnan Tan Soe Kie di Pecinan Senggarang Tanjungpinang
Pada masa itu wilayah Karesidenan Rembang yang meliputi wilayah Rembang, Juwana, Lasem, Blora, Bojonegoro merupakan hutan jati terbaik dan terbesar pada masa VOC dan pemerintah Hindia Belanda berkuasa. Pengusaha-pengusaha pembuatan kapal berawal dari Lasem dan Rembang, lalu memperbesar area pembuatan kapal mereka sampai ke Juwana. Kapal-kapal berukuran besar milik VOC banyak dibuat di Rembang Lasem Juwana. Ia menjadi corong candu Hindia Belanda karena memiliki sungai sama seperti Rembang dan Lasem. Tempat yang ideal untuk transportasi barang-barang dari luar negeri termasuk tempat subur penyelundupan candu atau opium.
Sejak berlakunya Opium Regie atau tata niaga opium pada 1899, perekonomian Juwana dan para pengusaha (penyelundup) candu mengalami kemunduran. Pada awal abad ke-20, sejumlah perusahaan batik tulis bermunculan. Produk unggulan mereka adalah selendang sutra yang terkenal dengan sebutan lokcan. Menurut catatan De Kat Angelino pada buku laporannya terhadap pemerintah Hindia Belanda yang berjudul Batikrapportjilid 2 bagian Jawa Tengah yang terbit pada 1934, terdapat 22 rumah produsen batik di Juwana.
Baca Juga: Geliat Rumah Jamu Marie Parakan Menjaga Warisan Jamu Nusantara
Selendang sutera Juwana hanya dipasarkan di Bali. Sedangkan kain suteranya didatangkan dari Hong Kong dan Shanghai! Salah seorang desainer lokcan ternama dari Juwana pada awal abad ke-20 adalah Tan Kian Poen yang dianggap merintis pembuatan selendang sutera lokcan dengan motif flora fauna gaya Cina. Motif utama lokcan biasanya adalah gambar burung dan bunga-bunga mungil. Lokcan Juwana diduga hanya berwarna biru indigo karena dalam catatan De Kat Angelino, upah proses pewarnaan yang terdata hanya ‘mbironi’. Pewarnaan lain dilakukan di Lasem dan Rembang. Sampai pada masa Salmon dan timnya melakukan penelitian pada 1966, lokcan Juwana masih dipasarkan ke Bali.
Juwana sebagai pecinan yang cukup besar pada awal abad 20 memiliki tiga buah klenteng yang terletak di kawasan hilir sungai Juwana dan satu buah klenteng di wilayah agak pedalaman-Jepura yaitu klenteng Chongfu Miao (Tjong Hok Bio). Dua klenteng terletak di tengah kota yaitu klenteng Cize Miao (Tjoe Tik Bio) dan Hok Khing Bio. Ketiga kelenteng tersebut diduga dibangun mulai 1740 hingga klenteng terakhir pada 1870 atau 1875.
Klenteng Tjoe Tik Bio merupakan klenteng yang paling mudah diakses dari jalan utama kota Juwana. Ia terletak di jalan Tamong No. 1, tepat berada di samping bangunan pabrik rokok termana Tapal Kuda. Dalam catatan Salmon, menurut tradisi lisan warga sekitar disebutkan bahwa klenteng Tjoe Tik Bio dibangun pada tahun 1870an. Sedangkan bukti inskripsi papan nama dan puisi yang tergantung pada pintu-pintu klenteng paling tua berangka tahun 1875 tepat pada masa tahun pertama pemerintahan Kaisar Guangxu. Sedangkan inskripsi yang tertempel pada dinding klenteng menyebutkan bahwa klenteng direnovasi pada 1932. Demikian pula terdapat genta logam bertuliskan Jin Zhong Ci Ze Miao (genta emas klenteng Tjoe Tik Bio) juga berangka tahun 1875.
Klenteng Tjoe Tik Bio didirikan oleh komunitas Cina Juwana untuk menghormati Dewi Kwan Im. Tak hanya Dewi Kwan Im, didalam klenteng tersebut juga terdapat patung (kimsin) Fu De Zheng Shen (Hok Tek Ceng Sin atau Dewa Bumi dan Kemakmuran), Guo Shen Wang (Dewa Pelindung Para Perantau). Terdapat pula patung Oey Dji Sian Seng (Chen Huang Er Xian Sheng) yang dipuja sebagai tokoh Cina yang berperan dalam perjuangan orang Jawa dan Cina melawan VOC yaitu Tan Ke Wie dan Oei Ing Kiat. Kedua tokoh ini berasal dari Lasem dan figurnya juga diabadikan di Klenteng Gie Yong Bio – Lasem.