Nationalgeographic.co.id—Kami adalah lima pengelana bersepeda motor yang mengejar matahari nan menjingga. Tampak panorama persawahan yang menggantikan deretan perumahan dalam perjalanan sebelumnya. Jalan berbalut aspal kota telah berlalu, kini kami menyusuri jalan berbingkai rumput desa. Iring-iringan kami tiba bersama senja di Kampung Bodogol, sekitar dua kilometer dari pintu masuk Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
Dadang Suryana, yang berbusana seragam lapangan taman nasional, menyambut kedatangan tim Kelana Lestari. Wajahnya yang berjenggot tampak semringah. Dia sehari-hari bertugas sebagai Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Bogor di taman nasional ini. Dari kantor Resort Bodogol, Dadang memandu kami menuju tempat bermalam, yang berada di dalam taman nasional. “Malam nanti kita nginap di PPKAB—Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol. Kita menginap bersama di sana,” ujarnya. “Lembaga ini punya peran untuk memperkenalakan kekayaan alam hutan hujan tropis kepada masyarakat.”
Naungan tajuk pepohonan dan gerimis membuat perjalanan dalam kawasan taman nasional bukanlah perjalanan biasa. Lampu kelima sepeda motor kami membelah jalan yang licin karena sisa hujan siang tadi. Jalan yang kami susuri berada tepat di punggung Bukit Bojongpilar, kiri jurang dan kanan jurang.
Kami harus lebih waspada saat menggilas medan yang kadang berlumpur. Kendati jingga senja kian menggulita, kami masih bersemangat menyelesaikan perjalanan hari pertama ini. Deru ketangguhan mesin sepeda motor yang mereka kendarai menjadi salah satu pengunci semangat itu.
Baca Juga: Kelana Lestari: Perjalanan Muhibah Menuju Kawasan Konservasi
Roda-roda kerap melaju pula di jalanan yang berbatu dan menanjak. Cabang-cabang pohon yang tumbang kerap melintang di tepian jalur, sehingga tim Kelana Lestari lebih waspada dalam perjalanan menyusuri gulita di kawasan konservasi ini.
“Motornya sangat pas untuk dipakai untuk bertualang,” kata Benardi Mardatu, awak tim Kelana Lestari yang mengendarai Kawasaki W175TR. “Kaki kaki dan suspensi sangat ajeg melibas tanah dan kerikil. Down clearance juga sangat pas dipakai menerabas, pengendara jadi fun dan nyaman untuk mengeksplor jalan, baik aspal dan nonaspal.”
Andriansyah telah menyiapkan santap malam bersama di ruangan berdinding terbuka. Sembari bersantap malam dengan sayur asem, kami pun berbincang dengan pemuda itu. “Kita di sini sedang mengembangkan Bodogol Kampung Hoya,” ujarnya, “sebagai ekonomi alternatif masyarakat. Rencana setiap rumah akan menanam hoya.”
Hoya merupakan tanaman berbunga yang biasa menjadi tanaman hias gantung karena menjalar. Tanaman cantik termasuk dalam suku Asclepidaceae, yang banyak tumbuh di negara-negara Asia Tenggara. Kini, hoya menjadi salah satu potensi sumberdaya hayati yang terdapat di TNGGP. Setidaknya terdapat sepuluh spesies hoya di taman nasional ini, dan sebagian besar spesies itu hidup di Bodogol.
Baca Juga: Pacu Adrenalin, Jelajahi Kaki Gunung Gede-Pangrango dengan Motor Trail
Setiap ngarai dan lembah taman nasional ini memiliki laksa cerita. Andiansyah, yang juga selaku Koordinator Forum Interpreter, sedang mengembangkan wisata minat khusus berbasis cerita. Setidaknya dia dan kelompoknya menyajikan lima rute untuk pengunjung yang berminat menjelajahi secuil kawasan konservasi ini. “Kita juga sedang mengembangkan pencak silat, alat musik degung, dan mengembangkan permainan tradisional bebedilan,” ujar Andriansyah.
Dadang menyeruput kopi. Dia menambahkan bahwa kawasan konservasi ini memiliki peluang sebagai destinasi wisata minat khusus. Gagasan ini menjadikan taman nasional berkelindan dengan warga yang menghuni tepiannya. Baginya, warga merupakan garda terdepan dalam setiap upaya pelestarian. “Di sini masih banyak primata seperti surili, lutung, dan owa jawa,” ujarnya, “juga macan tutul yang kerap muncul saat malam di sekitar sini.”
Fajar menyingkap selimut kabut di Bodogol. Dua surili bergelayutan di dekat tempat kami bermalam. Kami menuruni tangga menuju tajuk-tajuk pohon yang kerap disinggahi owa jawa. Kami ditemani Pepen, jagawana senior di taman nasional ini, dan Hapsari, seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor yang sedang menyelesaikan penelitiannya tentang owa jawa (Hylobates moloch).
Kami menyaksikan satu individu owa jawa bergelantungan di satu dahan ke dahan lain mencari sarapan. Dia menuruni pohon rasamala untuk mencicip buahnya. Ia memandang kami dengan waspada, lalu menghilang di balik tajuk pepohonan.
Baca Juga: Siapakah Lelaki Eropa Pertama yang Mendaki Puncak Gunung Gede?
Beberapa saat kemudian, kami mendengar beberapa kali nyanyian pesinden rimba itu yang bersumber dari tajuk pohon lainnya. Kemudian, tampak dua owa jawa berkejaran di tajuk-tajuk rasamala. Kami tengah memata-matai pesinden rimba di habitat asalnya. Pepen berdiri sembari mengintip dari binokularnya.
Kami berada di seruas jalan tanah yang berada tepat di punggung Bojongpilar. “Jalan ini membagi jalur pergerakan owa jawa,” kata Pepen. “Jalur Rasamala dan Jalur Afrika.”
Di kawasan sekitar tempat kami bermalam, tampaknya menjadi tempat persinggahan owa jawa dan surili saat pagi. Kehidupan liar hadir begitu dekat seolah tak bersekat. Kita pun bisa menjadi bagian dari agen pelestarian kawasan konservasi ini sepanjang mematuhi etika berkunjung di taman nasional. Sebagai contoh kecil, tidak menyentuh atau menggangu hidupan liar yang tidak kita ketahui karena bisa jadi sesuatu itu membahayakan diri kita—juga bisa membahayakan hidupan liar tadi.
Hasan Kholilurrachman, salah satu awak Kelana Lestari, memiliki kesan mendalam selama perjalanan ini. “Pengalaman berkelana dengan berkendara sepeda motor sekaligus mendapatkan edukasi mengenai lingkungan adalah pengalaman baru buat saya. Harapannya semakin banyak orang yang mempunyai semangat yang sama dengan Kelana Lestari,” ungkapnya. “Tetap Menjelajah!"
Baca Juga: Lagi-lagi Fenomena Unik di Puncak Gunung Gede, Apa Sebenarnya yang Sedang Terjadi?
National Geographic Indonesia On Assignment (NGIOA) menggelar perjalanan bersepeda motor ke tepian Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Program ini bertajuk Kelana Lestari yang bergulir 14-16 Maret silam. Tujuan utamanya menyinggahi dan menyigi kawasan konservasi, sekaligus membangun kedekatan dengan warga dalam upaya pelestarian lingkungan.
Kelana Lestari, bagian dari perayaan 15 tahun kehadiran National Geographic Indonesia di Nusantara. Program ini didukung oleh Kawasaki dan sebagian didanai oleh keanggotaan Anda sebagai pelanggan majalah National Geographic Indonesia.