Tak lama , keluar seorang perempuan setengah baya sambil tersenyum menyambut kami. Ia mempersilakan kami ke ruang dalam. Lalu ia meminta kami ke rumah bagian belakang. Di sana, saya melihat kebun kecil di tengah rumah yang dikelilingi bangunan memanjang. Bagian paling ujung dari bangunan itu tampak altar sembahyang.
Baca Juga: Penelitian: Teh Celup Juga Mengandung Banyak Mikroplastik
Siang itu, Lie Ci Sien (71) atau Laurensius Agung Sugiharto sedang sibuk membersihkan rumah. Sementara istrinya, Sim Lian Sin (70) atau Maria Sinta Handayani, membuat kue kura-kura warna merah berisi kacang hijau.
“Kukuran” demikian Nyonya Maria menyebut kue tadi. Maria masih rajin membuat kue-kue, seperti kukuran, wajik, dan talam. Kue-kue itu ia jual ke beberapa toko kue di Slawi.
“Jadi bagaimana sejarah Teh Tatah, tante?” tanya saya.
“Itu kudune karo suami, saya mantu. Dulu saya penggilingan gaplek di Bioskop Singa,”ujar Maria.
Bioskop itu merupakan sebuah bangunan tua legendaris di Slawi yang sudah tak digunakan lagi. Gedung itu sudah berpindah tangan dari keluarganya kepada orang lain.
Tak lama, Agung Sugiharto bergabung bercakap-cakap.
Saya mulai melempar pertanyaan dan mendengarkan kisah dari Lie Cie Sien, cucu dari Lie Seng Hok pendiri pabrik Teh Tatah.
“Pertama-tamanya di kota Slawi ini munculnya teh wangi itu dari eyange aku. Engkong namane Lie Seng Hok,” ujar Ci Sien.
“Seng itu hidup, Hok itu rejekine. Jadi rejekine hidup,” sahut Pek Hauw.
“Embah pertamanya bukan kerja teh dulu. Embah itu datang dari Cina, terus turun ke Indonesia di Semarang langsung ke Slawi. Asal muasalnya bukan kerja teh. Pertamane ya orang nggak punya modal ya, jadine kerja kasar lah. Lha, terus engkong terpikir bikin teh wangi,” ujar Agung menambahkan.