“Tahun berapa kira-kiranyanya, Om?” tanya saya.
“Kira-kiranya ya sebelum Jepang tuh. Jadi tahun 30-an kayane,” ujar Ci Sien.
“Kayane 28 (1928),” ujar Maria menimpali.
“Jamane Tin Kang. Ya itu tahun 1928 itu bener. Belajare ke Tin Kang. Oey Tin Kang. Dipelajari dan ternyata berhasil. Padahal sang guru tidak berhasil. Terus embah berpikir ngelanjutin. Nah Simbah berhasil. Mulai produksi,” kenang Ci Sien.
Ia mendengar kisah sejarah Teh Tatah dari sang kakek Lie Seng Hok dan sang ayah Lie Kim Hien.
Seng Hok mulai memroduksi teh rumahannya untuk pasar lokal. Kemudian mulai merambah Jakarta.
“Embah berpikiran, bahwasannya akan terkenal kalau bisa menguasai ibukota. Saudarane engkong ancure neng ibukota. Angger Jakarta wis kecekel ya benderane se-Indonesia (kalau Jakarta sudah dipegang, ya benderanya seIndonesia). Mulai dikirim ke Jakarta,” ujar Ci Sien.
Kisah berlanjut dengan dimulainya pengiriman teh produksi Lie Seng Hok ke Jakarta. Namun sayang, akibat persaingan dagang, terjadi sabotase terhadap produk Teh Tatah.
“Disabotase di Jakarta. Disimpen ben bosok, disebarna! (disimpan supaya busuk lalu disebarkan). Jadi kan nggak muncul. Itu sejarah ancure Teh Tatah. Itu sekitar tahun 1956-an. Tahun itu enkong mati. Waktu kira-kira usia 70-an, beban pikiran. Enyong (aku) isih kanak-kanak sih, dadi lupa-lupa inget,” kenang Ci Sien dengan logat ngapak-nya.
Lie Ci Sien menjelaskan, pasca kejadian itu nama Teh Tatah mulai surut walaupun masih tetap diproduksi di Slawi dan dijual untuk pasar lokal.
Baca Juga: Penelitian: Teh Celup Juga Mengandung Banyak Mikroplastik
“Pada tahun 1940-an, mulai ditembak sama generasi-generasi baru pabrik teh yang sekarang besar-besar. Ya pada belajar bikin teh. Ada yang belajar ke sini juga. Kalo sore pada maen ke sini, dipancing-pancing ya resepe kecandak,” ujar Ci Sien sambil tertawa.