Nationalgeographic.co.id - Sejarawan terkemuka Universitas Chicago bernama William McNeill menulis sebuah buku yang berjudul Plagues and Peoples pada 1976. Banyak pembaca saat ini menemukan bahwa buku itu adalah ramalan yang mengerikan untuk masa mendatang.
Merangkum halaman-halaman terakhir buku ini, McNeill mengatakan bahwa sejak obat-obatan abad ke-20 telah secara efektif mengendalikan sejumlah penyakit mematikan (cacar dan polio), para pemimpin dunia justru menjadi puas diri. Namun, lonjakan populasi dunia akhirnya menciptakan sebuah "pergolakan ekologis yang luar biasa".
McNeill memperingatkan para pembaca bahwa penyakit menular akan selalu ada dan bahkan menjadi hal yang fundamental dari catatan sejarah umat manusia.
Dia bahkan menunjuk kemungkinan akan pandemi berikutnya yakni bentuk mutasi dari virus influenza. McNeill mencatat bahwa virus influenza tidak hanya sangat menular, tetapi juga tidak stabil dan mengalami rincian struktur ilmiah yang berubah pada frekuensi intervalnya--mencegah manusia memperoleh kekebalan jangka panjang, seperti yang ditulis pada halaman History News Network.
Dengan demikian, menurutnya manusia sangat bergantung pada para peneliti yang secara terus-menerus mengembangkan vaksin influenza baru yang harus segera diproduksi secara massal.
Baca Juga: Mengenal Zoonosis, Penyakit yang Menular dari Hewan ke Manusia
Plagues and Peoples mencoba menggabungkan perkembangan mikrobiologi, antropologi, dan arkeologi. Meskipun buku ini muncul pada beberapa dekade lalu, banyak kesimpulan yang tetap valid dan tampaknya semakin canggih.
Salah satu wawasan McNeill dalam buku itu ialah menggambarkan hubungan antara mikroparasit (misalnya bakteri dan virus) serta makroparasit (seperti tikus dan manusia) yang ada dalam suatu hubungan yang terus berkembang.
McNeill berteori bahwa manusia itu sendiri adalah sejenis penyakit atau mikroparasit dari inangnya, yakni Bumi. Dia memperingatkan, jika manusia memberi tekanan terlalu besar pada Bumi, hal itu akan menghancurkan dirinya sendiri.
Awal mula McNeill membetuk hipotesis ini berasal dari argumennya tentang perubahan iklim pada awal 1970-an. Saat itu, perdebatan tentang peningkatan gas rumah kaca hanya terbatas oleh kalangan klimatologis.
Sebelum buku McNeill muncul, kisah sejarah kerajaan banyak digambarkan melalui gerakan sosial politik atau menggunakan teori Manusia Hebat untuk menjelaskan turunnya atau hancurnya kerajaan.
Epidemi dipandang sebagai persoalan sepele dibandingkan dengan pertempuran militer atau raja yang karismatik. Ini seolah menggambarkan sudut pandang banyak sejarawan abad ke-20.
Pada profil tulisan McNeill di halaman Majalah Universitas Chicago, Dr. Donald Hopkins mengamati bahwa pemberantasan cacar, polio, dan penyakit lainya pada abad ke-20 justru adalah bagian dari keangkuhan manusia, karena mereka merasa telah mengendalikannya.
Pada pembukaan Plagues and Peoples, McNeill menjelaskan tesis sentral buku tersebut. Dia begitu tertarik dengan laporan Hernan Cortez dan kelompok kecil prajurit Spanyolnya yang menaklukan kekaisaran Aztec.
Padahal suku Aztec merupakan pejuang terampil yang telah mengalahkan Spanyol dalam pertempuran awal. Tetapi setelah Cortez kembali pada empat bulan kemudian ia diuntungkan karena setengah populasi Aztec musnah karena epidemi.
Karena seluruh sejarah dunia baru bergantung pada pertaruhan Cortez dan kekebalan Spanyol terhadap epidemi, maka McNeill memutuskan untuk meneliti peran penyakit dalam keruntuhan peradaban lain.
Seperti kekalahan Sparta dari Athena, penurunan Kekaisaran Romawi dan jatuhnya Dinasti Han yang hacur karena epidemi.
Sejak penerbitanya, Plagues and Peoples mendapatkan ulasan positif dan penjualan yang besar. Sejak itu pula banyak buku lain yang menggabungkan interpretasi biologis dari sejarah dunia seperti buku Jared Diamonds yang berjudul Guns, Germs, and Steel (1997)
Pemikiran McNeill dipengaruhi oleh sejarawan yang mendahuluinya. Karena itu, ia bisa menjadi sejarawan yang mampu melakukan lompatan konseptual yang hebat.
Sebagai seorang sarjana dari Universitas Chicago ia dipengaruhi oleh studi sejarah dari Arnold J. Toynbee. Ia adalah seorang professor sejarah internasional di London School of Economics. Banyak studinya menjelaskan soal keberhasilan dan kegagalan siklus peradaban.
Kemudian McNeill juga membaca buku Hans Zinsser yang berjudul Rats, Lice, and History yang diterbitkan pada tahun 1935. Zinsser adalah seorang ahli mikrobiologi Universitas Harvard. Bukunya, berbicara soal epidemi tifus dan penyakit pes. Bahasanya tetap pada ilmu epidemiologi tetapi ditulis dengan gaya picaresque yang jenaka.
James Thornton Harris mencoba menspekulasi apa yang dipikirkan William McNeill tentang virus corona saat ini. Menurutnya, McNeill tidak akan terkejut karena dia sudah memeringati umat manusia bahwa mereka rentan terhadap epidemi. Serta ancaman mutasi virus flu lainya.
Walaupun demikan, Harris menilai bahwa McNeill optimis akan kemampuan manusia untuk beradaptasi. Karena dalam bukunya yang berjudul The Rise of The West mengatakan bahwa kecerdasan manusia telah berulang kali membuktikan bahwa ia mampu mengatasi bencana.
"Dalam kehidupan sosial manusia... kepercayaan adalah yang paling penting," ia ." ucap McNeill dikutip Harris di History News Network (05/04/2020).
Baca Juga: Harimau di AS Positif COVID-19, Kasus Pertama Pada Satwa Liar
William H. McNeill merupakan professor dan penulis produktif tentang sejarah dunia melalui pendekatan Eurosentris yang meninggal pada usia 98 tahun di Toringgton 8 Juli 2016.
Kematianya dikonfirmasi oleh sang putra bernama John Robert McNeill pada The New York Times.
Karya legedaris McNeill ialah The Rise of The West: A History of Human Community (1963) yang membutuhkan waktu penulisan selama 10 tahun. Karya itu mencapai penjualan terbaik dan mendapat anugrah National Book Award dan mendapat pujian dari penulis sejarah The New York Times bernama Hugh Trevor-Roper.
"Ini bukan hanya yang paling terpelajar dan paling cerdas. Itu juga buku yang paling menstimulasi dan menarik yang pernah dibuat untuk menceritakan dan menjelaskan seluruh sejarah umat manusia," kata Hugh dalam The New York Times (12/07/2016)