Akankah COVID-19 Menjangkiti Kucing Besar dan Kucing Rumah Kita?

By Fikri Muhammad, Selasa, 14 April 2020 | 20:06 WIB
Seekor harimau sumatra saat dilepasliarkan ke habitatnya di salah satu kawasan konservasi. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Pada awal April silam, seekor harimau malaya betina bernama Nadia tiba-tiba mendunia. Penghuni Kebun Binatang Bronx, New York, itu diketahui positif COVID-19. Malangnya, enam kucing besar lainya pun menunjukan gejala yang sama. Sering bersin dan nafsu makan yang menurun. Pengelola kebun binatang itu menduga bahwa kucing-kucing besar itu tertular virus dari petugas yang menjaga dan merwatnya.

Kejadian ini merupakan kasus pertama di dunia untuk harimau yang terinfeksi virus Corona. Kita pun teringat Felidae, keluarga kucing-kucingan, yang di dalamnya terdapat rumpun kucing besar dan kucing rumah. Pertanyaan yang muncul segera dalam benak kita, apakah COVID-19 menjangkiti kucing rumah kita? Seketika New York dan Jakarta pun seolah tak berjarak.

National Geographic Indonesia menggelar program acara diskusi daring Bincang Redaksi pada 10 April 2020. Tajuknya, "Covid-19 dan Aum Harimau: Akankah virus itu menginfeski kucing besar dan kucing rumah di Indonesia?"

Diskusi ini menghadirkan dua narasumber. Pertama, Ligaya Tumbelaka, pakar biologi reproduksi dari IPB University dan studbook keeper nasional untuk harimau sumatra. Kedua, Joko Pamungkas, pakar virologi dan kesehatan primata di University IPB.

Baca Juga: Harimau di AS Positif COVID-19, Kasus Pertama Pada Satwa Kebun Binatang

Joko memulai pemaparannya tentang zoonosis, yaitu penyakit yang ditularkan dari satwa ke manusia, atau sebaliknya. Pola penularannya terdiri dua macam yakni anthropozoonosis atau penularan penyakit dari manusia ke hewan, sedangkan zooanthroponosis atau penularan penyakit dari hewan ke manusia. 

Apakah ada kemungkinan virus Nadia menular ke manusia?

Joko mengungkapkan bahwa sejauh ini tidak ada coronavirus yang menginfeksi Felidae memiliki kemampuan menginfeksi manusia. Virus itu harus memiliki inang yang khas untuk bisa menginfeksi manusia.

Joko belum dapat memastikan bagaimana persisnya Nadia bisa terlular oleh manusia. Namun, menurutnya, kasus ini merupakan kasus anthropozoonis COVID-19 pada kucing besar yang pertama.

Tes COVID-19 pada satwa berbeda dengan manusia. Metode pada satwa ialah dengan metode molekuler. "Ada 6-7 metode yang disetujui untuk tes COVID-19 kepada hewan," kata Joko. "Metode ini menggunakan metode molekuler. Berbeda dengan tes cepat COVID-19 untuk manusia, hewan tidak memerlukan tes antibodi."

Baca Juga: Peneliti Ungkap 42 Persen Hewan di Kebun Binatang Idap Toksoplasma

United States Department of Agriculture telah mengkonfirmasi SARS-CoV-2 pada seekor harimau di kebun binatang di New York. Setelah beberapa singa dan harimau di kebun binatang itu menunjukkan gejala penyakit pernapasan, sampel dari harimau diambil dan diuji.

Sejauh ini belum dilaporkan satwa peliharaan warga Amerika Serikat yang terinfeksi akibat COVID-19. Himbauan kepada para pemilik satwa piaraan untuk tetap menjaga kebersihan sekaligus menyayangi hewan peliharaanya. 

Joko mencatat bahwa selain kejadian COVID-19 pada harimau Nadia, virus corona ini juga bisa memberikan penyakit pada hewan lainya. Para peneliti Cina, ungkapnya, telah melakukan infeksi eksperimental kepada spesies monyet rhesus macaques. Hasilnya, primata itu mengalami kondisi pneumonia. Ada juga grup peneliti lain yang mencoba untuk menginfeksi ulang pada satwa primata lainya.

Sebagai primata, manusia dan monyet memiliki kedekatan genetika. Artinya, temuan ini bisa menjadi celah untuk kehati-hatian akan terjadinya infeksi ulang dari satwa ke manusia.

Populasi harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) kian menyusut karena ekspansi manusia—perburuan atau konflik dengan warga. Sebuah penelitian mengungkapkan dugaan bahwa ekspansi manusia telah menyebabkan berpindahnya penyakit dari satwa ke manusia. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Harimau sumatra yang tersisa di belantara tidak lebih dari 400 ekor, sehingga satwa ini berada dalam label kritis. Jumlahnya kian menyusut karena perburuan atau konflik dengan manusia.

Ligaya Tumbaleka mengatakan bahwa terdapat 18 kebun binatang di Indonesia yang memiliki harimau yang tersebar di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Dia mewanti-wanti bahwa di kebun binatang, kontak manusia dengan harimau bisa saja terjadi walaupun tidak secara langsung. 

Dia menambahkan bahwa momen seperti ini harus dipertimbangkan karena risiko penularan penyakit bisa saja terjadi. Ligaya mengatakan pengelola kebun binatang harus diberikan edukasi bagaimana pemeliharaan dan perawatan hewan yang baik agar tidak tertular dengan virus corona.  

Kebun binatang, menurut Ligaya, harus memerhatikan Standar Operasional Prosedur untuk mengatasi pandemi. Kebun binatang di Indonesia bisa belajar dari kasus flu burung untuk mengatasi hal-hal yang tidak terduga. 

Agak sulit bagi Ligaya untuk melihat dan mengkritisi SOP pada kasus harimau Nadia di Bronx karena keterbatasan sumber informasi. Namun, ia mengatakan bahwa pawang harimau di kebun binatang tidak semata-mata dekat dengan satwa tetapi juga soal keamanan dan kenyamanan satwa. 

"Kita kan juga sudah bilang, walaupun keeper-nya berani bilang oh saya bias dekat, saya berani pegang, [namun] itu tidak disarankan," ujar Ligaya. "Karena sangat berbahaya bagi orang yang bekerja dan bagi hewanya. Karena kalau hewan kaget, reaksi yang bisa terjadi bisa mencelakakan. Jadi itu juga tidak boleh dilakukan."

Penjaga dan perawat harimau harus tahu apa yang terjadi dan harus mematuhi prosedur standar penanganan satwa. Artinya, pawang harus menjaga hewan sekaligus menjaga kebersihan diri.

Selain itu, untuk hewan-hewan yang berada di alam liar menurut Ligaya sangat minim penularan tertularnya COVID-19 dari manusia. Karena jangankan bersentuhan. Secara naluri kita sudah menghindari keberadaan hewan liar, khususnya harimau.

Lalu terkait infeksi SARS-CoV-2 pada saat penanganan penyelamatan hewan liar harus melakukan karantina sebelum hewan itu dilepas di alam liar menurut Ligaya. "Syarat utamanya yakin hewan itu sehat, kalau dia tidak sehat tidak boleh dilepas liarkan," ucap Ligaya.

Untuk sementara ini, Felidae dapat tertular coronavirus penyebab COVID-19. Sebagai antisipasi potensi kemungkinan menularkan balik ke manusia maka perlu tindakan kehati-hatian secara umum bagi petugas pemelihara dan perawat kesehatan harimau dan singa di fasilitas kesehatan.

Petugas pemelihara dan perawat perlu menerapkan kebersihan diri sebelum dan setelah menangani satwa. Semua harus menerapkan perilaku hidup bersih seperti mencuci tangan, mengganti baju kerja sebelum kembali ke rumah, dan mandi. Bagi petugas yang merasa tidak sehat, segera disarankan untuk melaporkan ke pengelola, memeriksakan diri ke poliklinik, dan beristirahat di rumah.

Baik Ligaya maupun Joko, mengharapkan kita untuk bersama memantau perkembangan informasi tentang COVID-19 terkait infeksinya terhadap kucing besar dan kucing rumah. Mereka berharap penelitian lanjutan pada kasus ini akan semakin membuka pengetahuan sehingga kita bisa bersikap lebih bijak pada kasus ini.

Perihal kucing peliharaan dan pemiliknya, Ligaya berpesan, selama pandemi ini pemilik harus memahami apa yang sesungguhnya terjadi pada dirinya dan satwa peliharaannya. Apabila pemiliknya terinfeksi penyakit, sebaiknya secara sadar mengkarantina diri dari satwa peliharaannya. "Semua tergantung manusia. Hewan yang berada di keluarga yang sehat, hewannya pun akan sehat.

Seekor harimau malaya di Kebun Binatang Bronx, difoto pada tahun 2017. Salah satu harimau malaya kebun binatang, Nadia, telah dinyatakan positif virus yang menyebabkan COVID-19. Enam kucing besar lainya juga menunjukan gejala yang sama. ( ANDREW LICHTENSTEIN, CORBIS VIA GETTY IMAGES)