Ilmuwan: Hutan Amazon Bisa Menjadi Pusat Pandemi Virus Selanjutnya

By Gita Laras Widyaningrum, Senin, 18 Mei 2020 | 10:52 WIB
Wilayah Amazon. ( Nicolas Reynard/Nat Geo Image Collection)

Nationalgeographic.co.id – David Lapola, ahli ekologi dari Brasil, mengatakan bahwa pandemi berikutnya bisa berasal dari hutan hujan Amazon. Menurutnya, meluasnya gangguan manusia pada hewan di sana disebabkan oleh deforestasi yang merajalela.

Sebelumnya, para peneliti telah mengatakan bahwa ‘urbanisasi’ pada alam liar berkontribusi terhadap timbulnya penyakit zoonosis yang berpindah dari hewan ke manusia. Ini termasuk virus corona baru yang diyakini peneliti berasal dari kelelawar sebelum menular ke orang-orang di provinsi Hubei, Tiongkok.

Lapola, yang mempelajari bagaimana aktivitas manusia dapat mengubah ekosistem hutan tropis di masa depan, mengatakan bahwa hal sama sedang terjadi di Amazon.

“Amazon merupakan tempat penyimpanan virus terbesar. Sebaiknya kita jangan main-main,” kata Lapola kepada AFP.

Baca Juga: Kenaikan Permukaan Laut Pada 2100 Lebih Buruk dari yang Diperkirakan

Kini, hutan hujan terbesar di dunia tersebut, semakin menghilang dengan kecepatan yang mengkhawatirkan.

Tahun lalu, deforestasi hutan Amazon di Brasil meningkat 85%--kehilangan area lebih dari 10 ribu kilometer persegi (setara dengan luas Lebanon).

Tren ini berlanjut hingga 2020. Mulai Januari hingga April, diketahui sekitar 1.202 kilometer persegi wilayah hutan telah musnah, menciptakan rekor terbaru, berdasarkan gambar satelit dari National Space Research Institute (INPE) Brasil.

Lapola menambahkan, ini merupakan kabar buruk, tidak hanya bagi planet tapi juga kesehatan manusia.

“Ketika Anda menciptakan ketidakseimbangan ekologis, saat itulah virus dapat melompat dari hewan ke manusia,” ungkap pria yang memiliki gelar PhD pada sistem modeling Bumi dari Max Planck Institute.

HIV, ebola dan demam berdarah

Contoh nyatanya terlihat pada HIV, ebola dan demam berdarah. “Semua virus yang muncul atau menyebar dalam skala besar, disebabkan oleh ketidakseimbangan ekologi,” kata Lapola.