Sindrom Stockholm, Ketika Tawanan ‘Jatuh Cinta’ dengan Penculiknya

By Gita Laras Widyaningrum, Kamis, 21 Mei 2020 | 13:49 WIB
Pengidap sindrom Stockholm merasa penculik adalah penyelamatnya. (Nina Malyna/Thinkstock)

“Lalu, korban berada pada tahap infantilisasi–kondisi di mana mereka seperti anak-anak lagi: tidak bisa makan, berbicara, atau buang air tanpa izin penculiknya.”

“Kebaikan kecil penculik–seperti memberikan makanan–mendorong rasa syukur ‘primitif’ seolah mendapat kado kehidupan,” papar dr. Frank.

Menurutnya, inilah penyebab mengapa korban memiliki perasaan primitif yang positif terhadap penculiknya. “Mereka berada dalam penyangkalan. Menolak percaya bahwa orang ini yang membuat mereka menderita. Dalam pikiran korban, sang penyandera justru seseorang yang membuat mereka tetap hidup,” tambahnya.

Merasa berhutang nyawa

Itulah yang terjadi pada keempat karyawan bank yang menjadi sandera Jan-Erik Olsson. Daniel Lang, jurnalis New Yorker, yang mewawancarai korban setahun setelah insiden itu terjadi, berhasil menggambarkan bagaimana tawanan dan penyanderanya berinteraksi.

Para sandera ini mengatakan bahwa mereka diperlakukan dengan baik oleh Olsson. Pada saat itu, mereka bahkan percaya telah berhutang nyawa pada penculiknya.

Dalam satu kesempatan, Elisabeth Oldgren yang mengidap klaustropobia diperbolehkan untuk meninggalkan kubah yang menjadi penjara mereka selama berhari-hari, meskipun dengan seutas tali di lehernya. Elisabeth mengatakan, Olsson ‘sangat baik’ karena memperbolehkan dirinya pindah.

Sementara Sven merasa bersyukur ketika Olsson berkata akan menembaknya–sebagai ancaman kepada polisi–namun tidak benar-benar melakukannya. “Saat dia memperlakukan kami dengan baik, kami berpikir dia adalah Tuhan yang membantu di masa-masa darurat,” cerita Sven.

Beberapa korban penyanderaan dalam aksi perampokan bank yang dilakukan Jan-Erik Olsson. (AFP/BBC)

Sindrom Stockholm biasanya diterapkan untuk menjelaskan perasaan ambigu tawanan, tapi ternyata, sikap penculik juga bisa berubah. Olsson mengatakan, pada awal pengepungan, ia bisa dengan mudah membunuh para sandera. Namun, seiring berjalannya waktu, niat awalnya berubah.

Menurut artikel FBI Law Enforcement Bulletin pada 2007, gagasan bahwa pelaku bisa menampilkan perasaan positif terhadap tawanan merupakan elemen kunci dari sindrom Stockholm yang ingin dikembangkan oleh para negosiator krisis. Keadaan tersebut bisa meningkatkan kesempatan korban untuk menyelamatkan diri.

Seperti kekerasan dalam rumah tangga