Meskipun sindrom Stockholm sudah menjadi perbincangan, namun menurut Hugh McGowan yang menghabiskan waktunya di Kepolisian New York selama 35 tahun, kasus ini jarang terjadi.
The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders and the International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD), juga mengatakan, tidak ada kriteria diagnostik yang diterima secara luas untuk mengidentifikasi sindrom ini. Apakah ia termasuk ikatan teror, trauma atau tidak termasuk dalam keduanya.
Namun, berdasarkan keterangan para psikolog, prinsip dasar kerja sindrom Stockholm bisa dikaitkan dengan situasi lain.
“Contoh klasiknya adalah kekerasan dalam rumah tangga. Ketika seseorang–terutama perempuan–memiliki ketergantungan pada pasangannya, ia cenderung tetap tinggal bersama mereka. Sang istri akan lebih merasa empati dibanding marah, saat disakiti,” kata Jennifer Wild, psikolog klinis di University of Oxford.
“Hal yang sama juga terjadi pada kekerasan anak. Ketika orangtua menyiksa anaknya secara mental atau fisik, anak tetap melindungi mereka dengan tidak mengatakan yang sebenarnya,” tambahnya.
Baca Juga: 10 Kebiasaan Simpel Ini Bisa Membantu Kita Cegah Penyakit Mental
Istilah sindrom Stockholm sering disematkan pada korban penculikan yang ditemukan setelah bertahun-tahun hilang dari pandangan publik. Beberapa orang menganggap itu menyiratkan kritik pada mereka yang selamat. Sindrom Stockholm dianggap sebagai tanda kelemahan korban.
Pada sebuah wawancara yang dilakukan di 2010, Natascha Kampusch menolak pemberian label sindrom Stockholm pada dirinya. Natascha menjelaskan, kita sebaiknya tidak memperhitungkan pilihan rasional seseorang dalam situasi tertentu.
"Saya merasa itu adalah hal yang wajar jika kita menyesuaikan diri dengan penculik. Apalagi jika menghabiskan banyak waktu bersama mereka. Ini tentang empati dan komunikasi. Mencari normalitas dalam kerangka kejahatan bukanlah sindrom, tapi strategi bertahan hidup,” paparnya.