Bagaimana Rasisme Bisa Terbentuk dan Bertahan di Masyarakat?

By National Geographic Indonesia, Selasa, 9 Juni 2020 | 14:59 WIB
Para pendemo di Minneapolis pascakematian George Floyd akibat kebrutalan polisi. (David Guttenfelder/National Geographic)

Nationalgeographic.co.id - Kematian seorang penduduk kulit hitam George Floyd pada akhir Mei lalu setelah dia disiksa oleh seorang polisi kulit putih di Amerika Serikat (AS) membangkitkan kembali gerakan kesetaraan ras yang dikenal dengan “black lives matter”.

Di Indonesia, perjuangan senada juga didengungkan oleh masyarakat Papua. Salah satu momen menonjol wujud diskriminasi masyarakat Papua adalah rentetan penahanan dan intimidasi terhadap masyarakat Papua di Malang dan Surabaya, Jawa Timur, pada Agustus tahun lalu. Peristiwa ini kemudian memunculkan aksi protes dari masyarakat Papua yang mengecam rasisme.

Rasisme bisa muncul di mana saja, baik di negara berkembang maupun negara maju. Pelakunya bisa aparat negara atau anggota masyarakat.

Baca Juga: Mengapa Banyak Orang Tidak Mematuhi Protokol COVID-19? Ini Analisis Peneliti

Rasisme bisa saja muncul tidak hanya dari perbedaan warna kulit tapi juga dari perbedaan kebudayaan yang membawa pada sekat-sekat peminggiran dan superioritas budaya tertentu.

Seseorang bisa menjadi rasis karena dipengaruhi oleh pola pembentukan karakter sejak ia lahir, norma sosial di masyarakat dan sistem politik, ekonomi dan budaya sebuah negara yang cenderung rasis. Namun demikian, negara memiliki pengaruh besar untuk melanggengkan atau sebaliknya menghapus rasisme.

Psikologi rasisme

Akar dari rasisme bisa dilihat dari bagaimana konstruksi ide yang dibentuk untuk alasan dan tujuan tertentu. Misalnya, satu hasil penelitian psikologi rasisme di Afrika Selatan menunjukkan bahwa pembentukan ide yang menyatakan orang kulit putih memiliki kedudukan yang istimewa mengantarkan pada hegemoni politik sejak masa poskolonialisme pada tahun 1900-an di negara tersebut.

Rasisme didefinisikan sebagai sekumpulan ide-ide dan kepercayaan yang memiliki potensi untuk menyebabkan seseorang membentuk prasangka buruk yang pada akhirnya membawa pada perilaku negatif terhadap kelompok masyarakat tertentu.

Secara sederhana, ide dan kepercayaan yang salah membentuk prasangka buruk; prasangka buruk kemudian menghasilkan perilaku negatif yaitu diskriminasi.

Diskriminasi adalah produk intelektual manusia yang berakar dari kesalahan kognitif.

Dalam ilmu psikologi kognitif, otak manusia adalah prosesor yang mengolah keseluruhan informasi yang kemudian menghasilkan keputusan dan tindakan.

Otak manusia mengolah informasi yang masuk dan keluar di dalam benak termasuk persepsi (negatif/positif), perhatian, bahasa, ingatan, proses penalaran dan kesadaran.