Nationalgeographic.co.id – Saat mobil-mobil digulingkan, para polisi menembakkan peluru karet dan gas air mata. Sebuah kantor polisi pun meledak dilalap api pada Kamis (28/5) malam di Minneapolis, Amerika Serikat. Fotografer David Guttenfelder mendengar seseorang berteriak: “Kami terluka. Kami terluka”. Kata-kata tersebut teredam di tengah kekacauan.
Protes di kota Minneapolis telah berkobar sejak Selasa malam, sehari setelah seorang pria Afrika-Amerika bernama George Floyd meninggal akibat tekanan lutut perwira polisi di lehernya selama sembilan menit.
Baca Juga: Dari Editor Juni 2020: Apa yang KIta Perbuat untuk Kesempatan Kedua
Para pendemo—lintas ras, usia, dan status sosioekonomi—berkumpul di luar kantor polisi tempat empat petugas yang menangkap dan membunuh Floyd bekerja sebelum mereka dipecat. Beberapa dari pendemo marah, sedih, tapi sebagian besar berduka.
“Tidak ada satu sikap, semuanya didorong oleh kesedihan,” ujar Guttenfelder. “Mereka berduka akan Floyd, juga rasa sakit yang dialami seumur hidup.”
Sepanjang akhir pekan, para pendemo dari Grand Rapids, Michigan, Oakland, hingga California, membanjiri jalanan untum memprotes rasisme yang mengakar serta kebrutalan polisi.
Menurut Guttenfelder, kemarahan di jalanan Minneapolis, mengetuk ke dalam sistem kota tersebut. “Ini bukan pertama kalinya polisi melakukan hal brutal terhadap orang-orang dengan kulit berwarna,” katanya.
Guttenfelder sedang meliput tentang dampak pandemi COVID-19 di Midwest ketika demonstrasi pecah di Minneapolis, tempat ia tinggal.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR