Langit Terlihat Bersih Selama Pandemi, Apakah Emisi Berkurang?

By National Geographic Indonesia, Rabu, 24 Juni 2020 | 11:13 WIB
Sumber buatan manusia, emisi sulfur dioksida beracun ditemukan di seluruh dunia. (EPA/livescience.com)

Tahun 2015, kebakaran hutan dan lahan telah menghancurkan sedikitnya 2,6 juta hektare akibat praktik tebas bakar untuk membuka lahan yang didominasi oleh lahan gambut di Indonesia.

Musim panas yang dipengaruhi oleh variabilitas iklim, El Nino, juga berkontribusi terhadap cepatnya penyebaran titik api saat itu.

Satelit NASA mendeteksi lebih dari 130.000 titik api pada kebakaran hutan dan lahan tahun 2015.

Lebih lanjut, kebakaran ini telah melepaskan 802 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO₂e) ke atmosfer. Ini menjadi salah satu keluaran emisi yang tertinggi di Indonesia.

Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan terparah di tahun 1997, juga dipengaruhi oleh El Nino. Saat itu, estimasi 45.600 kilometer persegi atau 4,5 juta hektare lahan terbakar di Kalimantan dan Sumatra, dan melepaskan sekitar 0,81 Gt dan 2,57 Gt karbon atau 2.970-9.423  juta ton CO₂e.

Sementara, rata-rata emisi tahunan dari tahun 2000 hingga 2016 terhitung sebesar 248 juta ton CO₂e.

Pengeringan lahan gambut membuat lapisan atas tanah terpapar pada oksigen yang berujung kepada dekomposisi dan menjadi mudah terbakar. Akhirnya, ia akan melepaskan karbon dioksida ke atmosfer.

Mendekati puncak di bulan Agustus, lahan gambut menjadi rentan terhadap kebakaran.

Apabila tidak ada upaya untuk restorasi lahan gambut, misalnya dengan kegiatan pembasahan kembali, ini akan kembali menjadi sumber emisi yang besar bagi Indonesia.

Sejak bulan Mei, pemerintah Indonesia telah menurunkan hujan buatan di Sumatra dan Kalimantan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Indonesia memang masih terus berupaya bisa mengendalikan kebakaran yang berulang hampir setiap tahun ini.

Kembali lebih baik

Penyemaian awan untuk menciptakan hujan buatan dan upaya yang lainnya untuk menurunkan emisi dari sektor kehutanan yang sedang berlangsung merupakan waktu yang tepat untuk mengadopsi pembangunan berkelanjutan.